6. After Drama

1.8K 362 54
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Terik matahari selalu menjadi makanan sehari-hari. Para paskibraka SMA Andalas yang tidak pernah punya libur meski sekolah tengah libur semester. Hari itu, lapangan Andalas sudah penuh oleh kegiatan organisasi ini. Tiga pasukan dibariskan untuk berlatih. Suara derap sepatu pantofel bergema, bersahut-sahut dengan suara tegas sang danton. Para pelatih berada di pinggir lapangan mengawasi mereka. Ada juga senior yang sesekali bersuara menyentak. Memacu para paskibraka untuk semangat berlatih.

Dari sudut pandang siapapun kegiatan ini lumrah terjadi. Organisasi yang memiliki sistem didikan semi militer seperti Paskibra dan Pramuka —terutama di sekolah ini— memang tak jarang mengambil hari libur untuk latihan. Latihan tambahan ini biasanya diadakan apabila ada acara tertentu seperti upacara bendera untuk hari kemerdekaan, lomba, atau upacara di hari penting lainnya.

Tapi, lumrahkah ini ketika sudut pandang itu adalah sudut pandangku?

Dalam sudut pandangku, aku baru saja mengalami perisitiwa dramatis nan traumatis yang tidak bisa dilupakan. Maksudku, itu masih dua hari lalu. Belum genap seminggu setelah kejadian. Belum pudar dalam memoriku setiap bagian yang terjadi pada hari kelulusan waktu itu. Bahkan aula sekolah masih membentuk puing-puing hancur. Tapi Hari ini, aku berada disini untuk untuk latihan paskibra. Aku berteriak-teriak menyerukan perintah pada pasukanku seolah-olah dua hari kemarin itu tidak pernah ada. Seolah-olah kejadian itu hanyalah salah satu bagian dari mimpi terburukku.

Tidakkah ini terasa sangat aneh?

Sekolah terasa sangat damai. Pelatih, para senior, bahkan pasukanku, tidak ada satupun dari mereka yang merasa janggal. Atau sekedar bertanya-tanya kenapa aula sekolah bisa begitu porak-poranda.

"Bubarkan dulu, Aurora. Kita istirahat dulu." Aku mengangguk ketika Kak Zifa memberiku instruksi. Segera kububarkan pasukanku. Dititik lain di lapangan, aku melihat Anya —danton pasukan merah— turut membubarkan pasukannya.

Aku melepaskan topi paskibraku. Segera menepi ke koridor kelas. Cuaca hari ini benar-benar cerah dan terik. Topiku berwarna hitam jadi rasanya kepalaku terbakar.

"Lo negak berapa ton asam jawa, Ar? Gue iri sama suara lo, sumpah." Anya mendekatiku.

Asam jawa adalah minuman yang wajib dikonsumsi oleh semua anggota Paskibra setiap kali latihan. Terutama yang jadi danton seperti aku dan Anya. Katanya, minuman ini dapat membuat suara menjadi lantang dan lepas. Aku, sih, percayanya aku memang sudah punya bakat jadi danton. Jangan anggap aku angkuh kali ini karena pemahamanku di dasari oleh dua hal. Pertama, sebelum aku rajin mengonsumsi minuman asam itu seminggu dua kali, aku sudah sering menjadi pemimpin upacara ketika SD. Suaraku terlatih sejak kecil dan memang bagus dari sananya untuk jadi danton. Kedua, tidak semua rekanku yang mengonsumsi asam jawa bisa tiba-tiba jadi punya suara lantang seperti aku dan Anya. Jadi, kupersepsikan bawah asam jawa tidak terlalu berpengaruh bagi kami.

"Gue, mah, emang udah bakat dari lahir. Lo nggak usah mimpi mau nyaingin, ah. Entar jatuh, sakit lho."

Anya tertawa tanpa minat, "kok gue kesel, ya, ngomong sama lo?"

Aku meneguk air mineral ku, "canda, canda. Gue mah minum kalau latihan aja."

Anya menatapku tidak percaya. Sudah lama kami bersaing untuk menjadi danton terbaik. Seringnya, hanya Anya yang berkompetisi karena, semua tahulah bagaimana aku pandai mencintai diriku sendiri, aku juga pandai memuji diri sendiri.

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang