19. Satu-satu Tersingkap

1.1K 237 34
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

"Percaya, nggak?"

"Apa?"

"Si Aren itu Kak Camil. Kak Camil itu nama aslinya kak Selena. Mereka orang yang sama. Ternyata, selama ini Kak Camil yang ngawasin kita. Dia mata-mata Bawah Tanah. Gila, nggak?"

Anya memandangi ku. Menautkan alisnya penuh heran. Barang sesaat dari itu, mulutnya terbuka dan matanya membola. "Lo masih nyari tahu soal itu?" Katanya tertegun.

Sekarang aku yang tercengang mendengar responnya. "Lo enggak? Emangnya enggak penasaran?"

Dia mengedikkan bahu tak acuh, "enggak. Lagian alasan gue waktu itu kan buat nyari bukti Bawah Tanah itu beneran ada. Sekarang, bodoh amatlah mau siapa mata-mata, siapa Black. Bukan urusan gue lagi."

Mengangguk paham. Aku lupa satu hal dari anak ini. Dia itu sangat cuek. Sangat tidak peduli pada apapun atau siapapun. Kalau bukan sesuatu yang berharga baginya, atau sesuatu yang akan mengacaukan rencana liciknya, atau sesuatu yang akan berimbas buruk atau baik baginya, dia tidak akan peduli. Sejauh yang kutahu, dia hanya peduli pada tiga hal: peringkat, keluarga dan teman. Untuk teman, dia klasifikasi kan lagi menjadi teman yang berharga, teman yang berguna dan teman yang pantas dibuang atau dilupakan. Aku tidak tahu aku masuk kategori yang mana (karena dia tidak pernah mau memberitahu ku setiap kali aku bertanya). Dan walaupun kita lebih sering berinteraksi sebagai rival, setidaknya aku beruntung dia masih peduli padaku. Setidak-tidaknya, Anya menghargai hubungan kita.

Kami sedang berjalan dikoridor. Jam 8 pagi suasana Bawah Tanah masih dingin. Mungkin karena letaknya cukup dalam di jantung hutan. Terselimuti rerindang pepohonan yang menyamarkan. Kendati udara masih begitu dingin, sebenarnya institusi ini sudah ramai akan aktivitas. Kegiatan belajar mengajar dimulai pada pukul 6. Apel pagi dilapangan bersama-sama, kemudian dilanjutkan dengan sarapan bersama di ruang makan super besar bernama Pondok Arjuna. Katanya, namanya terinspirasi dari nama seorang chef yang cukup kondang. Selesai makan, kami akan mulai digiring ketengah lapangan untuk pemanasan kemudian lari tiga putaran. Setelah itu sesi olahraga kami diisi oleh sesi bela diri sampai jam 8. 

Jadwal untuk tingkat pertama hari ini adalah taktik dan perencanaan. Kelasnya terletak dilantai dua dibagian gedung selatan. Karena pelajaran dimulai jam setengah sembilan, guru yang mengajar belum datang. Tetapi semua murid sudah lengkap berada dikelas, 25 orang. Sebenarnya, jumlah murid tingkat satu secara keseluruhan adalah delapan puluh. Kami direkrut dalam tiga gelombang berbeda. Aku dan Anya berada di gelombang terakhir dengan jumlah lulus 15 orang. Dua gelombang sebelumnya memiliki jumlah lulus yang lebih tinggi, 30 dan 35 orang. Kami dibagi kedalam tiga kelas dengan jumlah murid sekitar 25 sampai 30. Dilihat dari jumlah muridnya, awalnya aku berpikir ini bertentangan dengan kata-kata mereka disurat beasiswa yang hanya membuka kesempatan pada tiga puluh orang. Tapi aku dapat informasi dari Anya yang dapat informasi dari teman barunya dari kelas sebelah kalau 30 orang yang dimaksud adalah tiga puluh untuk gelombang pertama, tiga puluh untuk gelombang kedua, dan tiga puluh untuk gelombang ketiga.

"Uh, Ra?"

Anya tiba-tiba menarik siku lengan blazer ku.

"Hmm?"

"Tadi kamu bilang Aren itu kak Camil?"

"Uh-huh."

Mata Anya terpaut ke deretan bangku-bangku. Telunjuknya mengacung ke salah satu orang diantara deretan teman sekelas ku. "maksudmu ... Aren yang itu?"

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang