53. Our Ending

734 120 14
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Kita mungkin akan menghilang dari mata dunia, Ay.

Kita mungkin tanpa sadar sedang berjalan menuju ketiadaan eksistensi kita sendiri.

Kita mungkin akan berakhir mati ...

Lalu terlupakan.

Seolah tidak pernah ada.

Satu penyesalan terbesar dalam hidupku, adalah kenyataan bahwa aku selalu membiarkan orang-orang terluka karenaku. Aku selalu berhasil memancing perkara, menimbulkan bencana. Aku selalu tak pernah gagal mengundang mara bahaya, dan setiap kali itu terjadi, selalu orang lain yang tersakiti.

Lantas, Tuhan, jikalau waktu dapat kugenggam. Lalu kuputar mundur ke tempat semuanya bermula. Akankah seluruh rasa sakit itu tak akan lagi kualami? Akankah aku dapat melangkahi takdir, mengendalikan nasib sepuas hatiku?

Akankah akhirnya tidak akan semenyedihkan ini?

...

"AURORA!" Sancaka pontang-panting menghampiriku. Aku menatapnya, terisak.

"Tolongin, Cak ... tolongin Anya ...." Aku tersedu tak keruan.

Sancaka tampak frustasi melihat Anya yang matanya mulai memejam. Tubuhnya menggigil hebat. Aku berusaha sekuat tenaga memeluknya. Namun, diriku sendiri lemah tanpa daya. Pikiranku berputar-putar ke berbagai arah. Aku tak sanggup lagi berbuat apa-apa. Semua tampak sudah di ambang batasnya.

"Anya," panggilnya. Anya tak merespon. Sancaka menekan urat nadi di leher gadis itu. "Detaknya terlalu lemah."

Ia menatapku kalut. Menggeleng kecil. Tak ada harapan di wajahnya. Aku terpaku. Kutatap wajah Anya yang kian pucat pasi. Kutepuk-tepuk pipinya pelan. Berusaha membangunkannya. Namun Anya tak merespon.

"Ay," panggilku lemah. "Ay, bangun, Ay."

Tak ada respon.

Jantungku berderu kencang. Kini, napasku yang jadi satu-satu. Ketakutan menjalari seluruh tubuhku. membuatku mengalami tremor hebat. Namun aku masih belum menyerah. aku tidak bisa menyerah. Kugoyangkan tubuhnya. Aku berteriak memanggilnya. Hingga suaraku sendiri mulai serak.

"Anya, Anya! Please ...," isakku keras.

Air mata menuruni pipiku deras. Tak ada jawaban dari gadis itu. Hanya wajahnya yang semakin pucat, napasnya yang kian menghilang. Lalu tak kurasakan lagi apa-apa darinya selain tubuhnya yang semakin melemah. Aku menatap Sancaka, lelaki itu hanya bisa menunduk. Aku berteriak lagi. Histeris bukan main. Namun Anya tetap tak bergerak.

"Tolong!"

Aku menatap sekitar. Tak ada siapapun di sampingku selain Sancaka dan Pak Hendrik yang tengah memanggil helikopter seraya membopong tubuh Velidsa. Tak ada yang bisa menolongku. Tidak bahkan diriku sendiri.

Helikopter Pak Hendrik datang. Lelaki itu bergegas menaikinya. Melihatnya, amarahku kembali membumbung tinggi. Terbayang lagi diingatanku detik-detik dia melepaskan tembakan pada Anya. Lalu pelurunya mengenai telak sahabatku yang kini mulai sekarat. Aku memanas. Lalu semua akal sehat runtuh dalam sekejap mata. Seluruh nurani hilang dalam sejenak. Kupandangi lelaki itu tajam. Penuh dendam dan lara. Sesuatu mendorong diriku, sesuatu di dalam diriku berkecamuk hebat mendesakku untuk bergerak. Lalu aku tidak butuh alasan dan motivasi apapun lagi untuk melepaskan tubuhnya, menyerahkannya ke Sancaka dan bangkit menghampiri Pak Hendrik dengan murka.

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang