43. Di Balik Rumor

640 160 25
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Suatu malam, saat umurku baru menginjak setengah dasawarsa atau kurang, aku pernah bermimpi ibuku akhirnya pulang ke rumah setelah menyelesaikan tugasnya. Mimpi yang sangat aneh, namun juga sangat indah. Di mimpi itu, ibu memangku kepalaku, mengelus rambutku, dan membacakan sebuah cerita. Ia mendongengiku kisah Lili si peri bunga yang tersesat di realitas kedua bernama Garden.

Jika kupikirkan saat umurku sudah sedewasa ini, sebenarnya, cerita itu cukup seram. Lili tersesat karena mengikuti tiupan randa tapak dan terjebak di Garden yang penuh mawar berduri. Akhir kisahnya sangat menyedihkan. Lili terjebak di antara duri-duri mawar dan tidak bisa kembali ke dunianya.

Di dalam mimpi, aku menangis. Protes kenapa ibu menceritakan kisah seseram itu saat aku ingin tidur. Lalu ibuku berkata, "Di balik kisah-kisah seram, kita bisa mengambil lebih banyak pelajaran."

Aku dalam pangkuan ibuku tercenung keheranan. Ibuku tersenyum tipis dan kembali berkata, "Misalnya, dari kisah ini. Apa yang bisa Ara ambil sebagai pelajaran, coba?"

"Emm ... jangan main landa templak biar gak kejebak di cucus mawar." Aku yang belum lancar bicara menjawab.

Ibuku tertawa geli. "Bisa jadi." Lalu ia memberitahuku pesan sebenarnya dari dongeng yang ia ceritakan. Ibuku berkata, "Aurora, ada beberapa hal di dunia ini yang tidak bisa kembali lagi pada kita. Seperti Lili yang tidak bisa kembali ke dunianya karena melakukan kesalahan mengikuti tiupan randa tapak—bukan Landa templak ya, Sayang—dan berakhir di duri mawar."

Aku manyun tak terima. "Kenapa? Kalau Ara pegangin Lili, apa dia jadi nggak akan kesesat?"

"Bisa iya dan bisa tidak."

Aku manyun lagi. Ibuku mengelus pipiku. Menatapku lembut. "Dengan genggaman tanganmu, kamu bisa menyelamatkan Lili. Tapi kamu juga bisa ikut tersesat bersamanya. Ara mau ikut tersesat?"

Tubuhku langsung bergidik ngeri. Membayangkan terjebak di himpitan duri-duri tajam saja sudah membuatku setakut itu. "Nggak mau. Lalu, Ara harus bagaimana?"

"Lepaskan, Aurora. Jika menggenggam tangannya membuatmu ikut tersesat, maka kau harus melepaskannya. Kamu harus merelakannya."

Aku cemberut tak suka.

"Memang menyedihkan," kata ibuku lagi. "Tapi di dunia nyata, hukumnya memang seperti itu, Sayang. Ada beberapa hal yang tidak akan bisa kembali lagi pada kita jika kita melakukan kesalahan. Karena itu selalu berhati-hatilah, sayangku ...."

Aku memandangi ibuku dengan mata mengantuk. Mengerjap tak tahan sebelum akhirnya aku mulai menyerah. Jatuh pada ketidaksadaran dengan ibuku yang berusaha menyelesaikan kalimatnya. Berbisik padaku.

"Nyawamu cuma satu, Aurora."

Bertahun-tahun kemudian, aku mengingat mimpi itu sebagai satu bagian krusial dari anomali memoriku. Aku tidak mengingat banyak pengalaman di masa kecilku. Tapi aku mengingat hampir sebagian besar mimpi yang kualami. Terutama yang menampilkan visual ibuku. Aku andai-andaikan semua mimpi itu sebagai ingatan nyata. Berlakon seolah-olah ibuku benar-benar melakukan semua itu, mengelus kepalaku, mendongeng untukku, dan mengatakan pesan-pesan untuk hidupku agar jadi lebih baik. Meski nyatanya aku tidak pernah mendapatkan semua itu.

Sampai hari ini, aku menjadikan memori tentang mimpi itu sebagai salah satu pedoman dalam hidupku. Aku percaya bahwa setiap kesalahan akan ada konsekuensinya, dan yang terberat darinya adalah konsekuensi berupa kehilangan. Kehilangan yang abadi. Maka benakku sulit percaya bahwa suatu saat di kala aku sudah mulai dewasa, akan ada hari di mana seseorang berkata padaku bahwa kematian ibuku adalah kebohongan. Meski aku mungkin tidak kehilangannya karena mengamuki temanku di taman kanak-kanak, atau mengatai guruku bodoh karena berusaha membohongi kami dengan logika cacat, atau kesalahan-kesalahan Aurora Bhayangkari lainnya yang membuat tuhan memutuskan bahwa anak lima tahun itu pantas untuk mendengar kabar kematian ibunya tepat sehari setelah hari lahirnya.

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang