Bawah Tanah:
The Rumor Comes TrueA novel by Zivia Zee
•••
Ada sebuah rumah kayu di tengah hutan. Letaknya tak begitu jauh dari komplek Pendidikan Bawah Tanah. Dari penampilan luar, rumah itu cukup bagus, cukup luas dan terawat. Bagian dindingnya dibuat dari potongan kayu besar yang disusun vertikal. Sangat bagus untuk ukuran sebuah rumah kayu. Tidak seperti gubuk kumuh yang biasa ada di hutan belantara. Jarak kami dengan rumah itu masih beberapa meter. Tapi aku dapat melihat cahaya menguar dari jendela-jendela. Ketika kami sudah memasuki pekarangan rumah itu, dentuman musik dan riuh gaduh banyak orang terdengar.
Sirin mengatakan padaku ini rumah seorang pelatih dan pembina ekskul berkuda. Namanya Wiraga, biasa dipanggil Mas Raga. Pria 25 tahun asal Jakarta yang punya perawakan tinggi semampai. Dengar-dengar hampir mencapai dua meter. Katanya, Mas Raga mantan murid disini. Sempat memegang keanggotaan BIN selama dua tahun, sebelum akhirnya memilih berhenti karena suatu alasan. Ia meneruskan peternakan kuda milik ayahnya dan menginvestasikan modal itu untuk sarana berkuda di Bawah Tanah. Berkatnya, Bawah Tanah jadi punya ekskul berkuda.
"Orangnya masih sangat muda," kata Katrina ketika dia membuka pintu rumah kayu. "Dia sangat bersahabat. Dari Jakarta juga, sepertinya akan mudah akrab dengan kalian."
"Kenapa ditengah hutan?" Tanyaku. Penasaran dengan lokasi rumahnya yang tidak strategis. Maksudku, tinggal sendiri di tengah hutan tanpa ada satu tetanggapun, itu kan, menyeramkan.
"Katanya, dia ingin menyatu dengan alam."
Aku mengangguk-angguk. Kami memasuki rumah itu. Seperti yang tampak pada bagian luarnya, rumah ini luas dan terawat. Cukup estetik dengan beberapa pajangan bambu. Sangat ramai dan juga berisik. Musik berdendang sepanjang waktu walau frekuensinya tidak separah di klub malam yang waktu itu aku kunjungi bersama Anya. Banyak orang di sini. Tapi aku melihat sebagian dari orang-orang itu tampak bingung dan polos. Kutebak mereka murid baru seperti aku. Ada meja besar di tengah-tengah ruangan dikelilingi oleh sofa melingkar. Orang-orang duduk disana memainkan sebuah permainan botol yang diputar-putar, ketika botol itu berhenti menunjuk salah satu pemain, mereka langsung histeris dan tertawa-tawa. Di bagian lain, ada meja yang tampak lebih tinggi. Di atas meja itu disuguhkan berbagai macam makanan ringan, kue-kue, minuman soda dan banyak lagi. Kusadari juga rumah ini telah dihias sedemikian rupa dengan pita, balon dan spanduk ucapan selamat datang dan selamat bergabung keluarga baru bawah tanah. Satu spanduk lagi yang melintang di dinding diatas televisi bertuliskan 'MALAM KEAKRABAN 2019'.
"Eh, sudah datang? Mana nih orang Jakarta yang galak-galaknya?" Sebuah suara datang menyapa kami.
Aku melihat pria tinggi berkaus putih dengan celana berkantung banyak warna coklat muda menghampiri kami. Ia memegang sebuah gelas dan lap Kumal. Wajahnya sangat ramah tersenyum pada Katrina dan Sirin.
"Eh, Mas Raga," balas Gadis itu riang. Jadi ini Mas Raga yang dimaksud itu. Memang sih, dia sangat tinggi untuk ukuran orang Indonesia. "Ini, nih, Mas. Orang barunya. Awas galak."
Menyadari lirikan mata Katrina tertuju padaku, kaki-ku spontan menendang tulang keringnya. Ia mengaduh sakit dan berkata, "tuh, kan."
Mas Raga tersenyum padaku. Ia menyampirkan lap kumalnya di pundak sebelum menawarkan tangannya, "Wiraga. Panggil saja Mas Raga. Saya dari Jakarta juga, kok. Tapi karena kelamaan disini, logat lo-guenya sudah hilang. Orang-orang sini bicaranya baku semua."
Sebelum aku bisa menyalami tangannya, sebuah tangan asing telah lebih dulu menyabet tangan Mas Raga. Aku terkejut. Bukan karena tangan itu tiba-tiba muncul, tapi karena aku menyadari siapa pemilik tangan itu. Anya kini segar bugar, wajahnya cerah ketika memperkenalkan dirinya pada Mas Raga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawah Tanah: The Rumor Comes True
Azione[Action X Teenfiction] Serial mata-mata remaja #1 Buku pertama dari Dwilogi Bawah Tanah Ada sebuah surat aneh diatas meja belajarku. Surat berwarna pink bersimbol hati. Kupikir itu dari Djanuar. Akhirnya cowok brengsek itu sadar juga bahwa meninggal...