Bawah Tanah:
The Rumor Comes TrueA novel by Zivia Zee
•••
Aku tidak melihat Velidsa lagi selama seminggu terakhir. Anya bilang dia menerima skorsing dan sepertinya omnya memulangkan ia kepada ayahnya. Dibantu Anya, aku memendam semua kekesalanku dan berusaha melanjutkan hidup. Aku memaksakan diri masuk ke setiap kelas meski aku harus tetap melewatkan sesi olahraga pagi yang lumayan berat. Mengingat ancaman pengurangan poin yang dipaparkan Pak Frans -dan ternyata telah diumumkan kepada seluruh siswa sejak upacara penerimaan, dimana hari itu aku malah lirak-lirik kesana kemari sehingga luput dari perhatian- aku kembali memaksakan diri mengikuti setiap sesi olahraga diminggu kedua aku keluar dari pusat medis.
Anya, yang mana tidak pernah kubayangkan bisa menjadi sekhawatir ini, tak henti melirik padaku selama sesi olahraga dan tak bosan bertanya apakah aku lelah sepanjang kelas materi. Dan meskipun aku agak risih dengan perhatian mendadaknya, kuakui, hati ku agak menghangat.
Kembali dari hutan dalam keadaan berdarah-darah setelah terjun dari tebing tinggi ternyata mampu memberiku pencerahan. Diminggu kedua ketika tubuh dan sendi ku mulai lebih leluasa digerakkan, aku memantapkan hati mengisi formulir kelas intensif dan memberikannya pada pembina kelas pencak silat. Dihari yang sama aku memberikan surat lamaranku, aku langsung dipanggil untuk perekrutan bersama lima orang lainnya. Ruangan-ruangan kelas intensif berada dilantai tiga, tapi beberapa mengambil markas digedung terpisah untuk olah kegiatan outdoor, termasuk kelas pencak silat. Aku harus mengelilingi kompleks pendidikan Bawah Tanah yang baru kusadari hampir seluas kompleks perumahan Citra Residence tempat ku tinggal.
Sanggar pencak silat berada di barat daya kompleks. Berupa sebentuk bangunan bertingkat dua dengan halaman luas dibagian depan. Bagian belakang bangunan pepohonan bambu tumbuh renggang dan dari kejauhan nampak seperti hutan. Disampingnya terdapat sanggar kungfu dan katanya mereka sering berlatih di hutan bambu itu.
Pertama kali sampai, aku dan lima calon anggota lainnya langsung disambut oleh tiga puluh orang berbaju pangsi hitam, berwajah garang, dan berbadan tegap-tegap. Seorang pria berambut agak gondrong yang punya badan paling tinggi dengan wajah paling garang yang berdiri paling depan langsung menatap kami semua tajam. Ada hawa kecanggungan selama beberapa detik sebelum semuanya terpecahkan ketika si pria tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya sembari membuat gestur 'mempersilahkan' dengan tangan. Urat-urat diwajahnya melunak, lalu terbitlah senyum manis nan ramah yang tak diduga-duga. Semua itu belum selesai mengejutkan kami karena pria itu tiba-tiba berbicara dalam bahasa sunda dengan logat yang kental dan terdengar menyambut.
Dia berkata, "wilujeng sumping, sadayana. Mangga kalebeut. Oh, ieu ... nu hayang nyalon jadi anggota anyar, teh ?" ( Selamat datang, semuanya. Silahkan masuk. Oh, ini ... yang mau nyalon jadi anggota baru ?)
Kami semua melongo tanpa bisa bereaksi apa-apa. Meskipun aku blasteran sunda, hanya tiga kata yang aku -dan mungkin lima orang lainnya juga- mengerti dari semua yang dia katakan. Menyadari kebingungan kami semua, seorang perempuan berkulit sawo matang dengan rambut terkuncir tinggi menyerupai ekor kuda yang berdiri disebelahnya segera menaruh tangannya didekat mulutnya. Ia mendesis-desis memberi tanda. "Psst ... Psst ... Kang, Indonesia, Kang. Indonesia ..." bisiknya.
Pria berwajah ramah yang disebut 'Kang berlagak seperti baru saja teringat akan sesuatu dan segera berucap, "oh, maap. Ini teh lain di Bandung, nya ?" (Ini bukan di Bandung, ya ?)
"Akang, ih, Indonesia!" bisik perempuan itu lagi.
"Oh, iya, iya, atuh, maap. Akang teh lupa. Bae atuh seaetik mah." (Akang lupa. Nggak papa lah sedikit aja)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawah Tanah: The Rumor Comes True
Action[Action X Teenfiction] Serial mata-mata remaja #1 Buku pertama dari Dwilogi Bawah Tanah Ada sebuah surat aneh diatas meja belajarku. Surat berwarna pink bersimbol hati. Kupikir itu dari Djanuar. Akhirnya cowok brengsek itu sadar juga bahwa meninggal...