30. Rindu dan Rahasia

946 224 15
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Kami memang berjumpa lagi. Ya, ternyata Kak Sancaka tidak pergi. Tidak pada hari itu. Aku masih melihatnya selama seminggu ini. Kebanyakan berpapasan di koridor dan seringnya hanya aku yang melihat mereka. Sementara kedua orang itu terlalu sibuk untuk menyadari bahwa kami sering berpapasan. Tapi baik ia maupun Kak Selena tidak pernah lagi muncul dan merecokiku di kafetaria. Sebagai gantinya, Ririn dan dua pengawalnya kerap datang mengganggu kami.

Aku sering lihat keduanya berjalan —bahkan hampir berlari— disepanjang lorong. Sering kali sambil berdebat tentang sesuatu. Pernah suatu saat aku memergoki mereka berhenti di satu sudut koridor dan bertengkar sambil berbisik-bisik.

"Apa kau gila?! Memintanya melakukan hal itu?!" suara Kak Sancaka terdengar marah. Aku jarang lihat dia marah tapi ketika aku mendengarnya bicara dengan nada itu, aku bisa tahu kalau sesuatu yang mereka pertengkarkan adalah sesuatu yang sangat serius.

"Apa lagi?! Kita putus asa!"

"Anak itu belum siap—hh, dia tidak akan bisa—"

"Kita juga tidak siap saat pertama kali diberi tugas itu, bukan? Apa bedanya?"

"Ini berbeda. Ini menyangkut tentang...God! Sel, kita tidak bisa begitu saja mengorbankan seseorang—"

"Seseorang telah berkorban sejak pertama kali kasus ini dimulai, Sancaka. Cobalah untuk menerima itu dan—"

"Sedang apa kalian disini? Jangan berbisik-bisik ditengah jalan, kawan. Ayo."

Hanya sampai sana aku bisa mencuri dengar karena Kak Cempaka tiba-tiba datang menginterupsi mereka. Gadis itu melirik padaku membuat kedua lainnya ikut melirik. Kemudian mereka pergi begitu saja. Dan itu, adalah kali terakhir aku melihat Kak Sancaka.

Sebulan kemudian terlewati dengan begitu cepat. Aku hampir tidak menyadari bahwa kami mulai memasuki pertengahan semester. Bawah Tanah tampak normal tanpa tiga orang itu. Kak Sancaka dan Kak Selena tidak pernah terlihat lagi. Aku juga tidak pernah menerima kabar dari mereka. Kak Cempaka hampir tidak pernah menampakkan dirinya di depanku sejak kedua temannya pergi. Ia tampak begitu sibuk dengan urusan dewan komite, rapat setiap waktu dan aku hampir yakin ia tidak pernah lagi masuk kelas karena sibuk mengurus urusan Dewan. Aku hanya bertemu dengannya sesekali di sanggar silat ketika jadwal kelas intensif.

Sebulan selanjutnya berlalu lebih cepat lagi. Ririn dan Alto masih berisik di sana-sini. Seringkali mereka mencoba melibatkan aku. Empat Minggu kebelakang aku melewati hari-hariku dengan agak sepi. Tiga kakak kelas yang biasa bergaul denganku tidak pernah terlihat lagi. Hampir setiap waktu aku bersama Anya. Aku tidak punya teman lain selain dia. Ririn dan kawan-kawannya kuanggap sebagai hama.

Sejak kami membuat janji malam itu, persaingan kami semakin sengit. Tapi belakangan, Anya juga ikut sibuk dengan kelas intensif berkudanya. Ia datang tiga puluh menit lebih awal dan pulang tiga jam lebih lambat. Entah apa yang ia lakukan dengan Mas Raga di tiga jam ekstra itu. Tapi aku dengar gosip dari Ririn keduanya terlihat berduaan di sekitar istal. Semoga hubungan mereka tidak lebih dari sebatas pelatih dan murid.

Hari ini adalah hari Sabtu. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di sanggar. Berlatih silat. Mencoba untuk tidak babak belur untuk yang kesekian kalinya ketika adu tanding dengan Kak Cempaka. Sebelumnya, aku mengabaikan secara penuh ketika Kak Sancaka bilang cewek ini yang terkuat di seluruh angkatan. Tak kusangka omongannya itu bukan sekedar omong kosong belaka.

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang