PART DUA PULUH DUA

3.2K 584 71
                                    


Tidak percaya apa yang didengar, Seira membuang pandangannya.

Sandiwara menjijikkan apalagi ini?

Hampir saja dia berkata

Kenapa aku harus maafin kamu?

Kalau saja papa dan mama tidak berada semeja dengan mereka, Seira akan mengatakannya dengan mudah. Tanpa pikir panjang.

Tapi kenapa Sagara harus mengucapkan kalimat bualan itu justru di saat dia tidak bisa membalas?

Sagara memang sangat cerdas memanfaatkan situasi.

"Nanti," kata Seira berupaya menjaga sikap.

"Nanti? Kenapa bukan sekarang?"

Kenapa bukan sekarang?

Pertanyaan macam apa itu?

"Kenapa harus memaksa?" Seira kelepasan bicara.

"Aku nggak maksa."

Sagara sudah membuatnya muak di level tertinggi.

Papa dan mama berbaik hati tidak memaksanya "memaafkan" Sagara di depan mereka. Dalam situasi tidak terduga seperti ini, Seira harus bersikap sewajar mungkin. Tidak mungkin saat itu dia meneriaki Sagara dan menyuruh laki-laki itu untuk menjauh darinya.

Atas nama adab kesopanan dan penghormatan, Seira terpaksa menunjukkan seulas senyum.

"Nanti diomongin lagi, bisa kan?" Seira menggeram dalam hati. Dia tidak suka sandiwara murahan.

Dia semakin benci Sagara karena kelakuan yang semakin aneh.

"Baik, Sayang. Terserah kamu saja."

Hih. Sayang pale lu peyang.

Astaga. Tuh kan dia jadi mengumpat lagi?

Ketika Seira sudah hampir muntah karena sandiwara Sagara, laki-laki itu meraih tangannya yang tengah memegang garpu dan menggenggam sambil mengelus-elus di bagian punggung tangan.

"Thanks."

Astaga. Kenapa lagi sih?

Kenapa dia semakin menjijikkan?

Seira benar-benar tidak tahan lagi.

Tidak peduli di hadapan kedua orang yang disayangi, yang jelas tidak akan senang ketika Seira bersikap tidak sopan.

"Kenapa kamu jadi bersikap seperti ini?"

Tanpa menunggu jawaban, Seira beranjak dari kursi. Bukan hendak menyudahi makan. Seira pamit sebentar untuk mengambil sesuatu meski dia tidak cukup yakin semua orang mengerti apa yang dia gumamkan.

Seira mengambil waktu sebentar untuk menghirup udara di dalam dapur yang masih menyisakan aroma masakan. Dia tidak akan lama di sana. Hanya perlu mencari sesuatu sebagai alasan ketika kembali lagi ke meja makan.

Tapi memangnya apa yang bisa dibawanya ke meja makan?

Karena tidak ingin berlama-lama, Seira mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin dari dalam botol. Dia membawa botol air dingin ke meja, dan reaksi mereka biasa saja.

"Apa sebaiknya kita ikut mengantar Seira ke Puncak?" tanya Mama kepada Papa.

"Seira sama Sagara juga belum bilang kalau kita boleh ikut atau nggak, Ma." Sejak awal rencana kepindahan Seira ke Puncak, baik Papa maupun Mama, menyerahkan keputusan kepada Seira. Pasti mereka berharap Seira bisa mengikuti Sagara kemanapun pergi.

OVERRATED WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang