"Kenapa harus pakai pengaman? Bukannya kita harus lekas punya anak?" Sagara mengingatkan ide konyol tersebut.
Seira membuang pandangan ke arah lain.
"Aku baru sadar hubungan kita seaneh ini." Seira bersedekap. "Menikah tanpa tujuan. Padahal pernikahan adalah sebuah hubungan yang butuh komitmen."
"Kita masih bisa mengambil jalan pintas."
Seira pasti mengerti apa yang dimaksudnya dengan jalan pintas.
Iya, bercerai. Dengan segala resiko yang telah menanti di depan mata.
Tapi Sagara belum mengatakannya secara jelas. Karena dia tahu persis bagaimana hukum sebuah pernikahan di saat seorang suami mengucapkan keinginan untuk berpisah, apalagi disertai niat yang sungguh-sungguh.
Dia merasa terombang-ambing oleh perasaannya sendiri. Bingung antara ingin mempertahankan atau melepaskan.
Seira barangkali akan mengejeknya karena sikapnya ini. Dan bukan tidak mungkin, Seira bisa memanfaatkan posisi lemah untuk semakin menyudutkannya.
Sagara tidak mengatakan Seira akan berbuat jahat karena dia sangat yakin Seira hanya ingin menunjukkan seberapa besar luka yang telah Sagara berikan kepadanya.
"Kenapa sepertinya kamu yang paling ngotot untuk berpisah, Sagara? Apakah aku sedemikian memuakkan itu buat kamu?"
Sagara menatap Seira sambil menggertakkan kedua rahang. Bukan semata hawa dingin yang menyelusup hingga ke tulang. Dia sudah memberikan pilihan yang terbaik untuk mereka tapi kenapa Seira tidak mau mengalah?
"Kita tidak saling mencintai, Seira."
Akan butuh sebuah keajaiban untuk Seira bisa menerimanya kembali, sementara Sagara terlalu gengsi untuk mengatakan perasaannya ketika Seira bahkan tidak merasakan perasaan yang sama. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri.
Dan yang lebih penting dari semuanya, Seira berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darinya.
"Itu karena kita tidak pernah berusaha saling mencintai."
Sagara merasa ada harapan dari ucapan Seira. Dia ingin tahu bagaimana Seira memandang dan menilainya selama ini.
"Akan sangat mudah bagi aku mencintai kamu, tapi aku tahu masalah terbesar ada pada diriku sendiri." Sagara mengucapkannya tanpa beban.
Seira mendengarkan tanpa bereaksi, jadi Sagara melanjutkan.
"Masa laluku dengan Maysa, dan apa yang udah kamu lihat di apartemen ketika Maysa datang menemuiku." Sagara tertawa miris. "Hanya perempuan bodoh yang masih mau menerima laki-laki seperti aku ini."
Seira masih diam.
"Soal Mami, nggak usah kamu pikirkan."
Seira menggeleng.
"Kenapa semuanya harus selalu tentang Mami? Aku juga punya orangtua, Sagara. Dan aku tahu persis, mereka tidak akan suka dengan perceraian. Setiap orangtua memiliki harapan besar ketika mengantarkan anaknya memasuki gerbang pernikahan. Meskipun sulit, aku rasa aku akan berusaha...menerima kamu lagi. Ya, seperti yang kamu bilang tadi. Jika ada perempuan bodoh yang masih mau menerima kamu, perempuan itu adalah aku."
"Kamu bahkan tidak mencintaiku, Seira. Jadi bagaimana mungkin kamu mengorbankan dirimu untuk pernikahan yang hanya akan merugikan kamu?"
"Pernikahan bukan soal untung-rugi, Sagara. Pernikahan adalah soal komitmen. Aku tahu kedengarannya tidak mudah. Apalagi untuk usia pernikahan kita yang masih seumur jagung. Seperti yang aku bilang dulu, kalau aku tidak suka perceraian."
KAMU SEDANG MEMBACA
OVERRATED WIFE
General FictionSeira Dahayu, telah lama mengetahui jika dirinya dan Sagara terikat kawin gantung sejak mereka masih kecil. Kala itu Seira masih berusia 9 tahun dan Sagara berusia 11 tahun. Ia bahkan diminta untuk tidak menjalin hubungan asmara dengan laki-laki ma...