"Apa aku bau?" Sagara mundur dan mengendus kemejanya.
Tubuh Sagara masih begitu kental aroma parfum. Tapi Seira menggunakan alasan itu untuk menolak sentuhan Sagara. Dia tidak boleh lengah karena laki-laki itu pasti sudah terbiasa mendekati perempuan. Mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Seira mengusap-usap pipinya yang sempat dicium Sagara. Harus buru-buru dibersihkan sebelum kena kuman!
"Nggak usah nanya-nanya. Langsung mandi aja sana!"
Seira kesal. Bisa-bisanya Sagara menciumnya. Sekalipun hanya di pipi tapi tetap saja mengerikan. Dia menyalahkan pikirannya yang tidak henti memutar memori ketika Sagara tengah bergumul dengan Maysa di sofa apartemen Sagara.
Dia jadi ragu apakah bisa menerima Sagara di saat di pikirannya hanya ada bayangan Sagara bersama perempuan lain.
Hal ini sungguh tidak benar.
Dia harus membahas hal ini dengan Sagara secepatnya.
"Kenapa kamu nggak mau aku cium?" tanya Sagara tanpa nada menuntut.
"Aku selalu membayangkan kebersamaan kamu dengan Maysa."
Sagara mengacak rambutnya. "Kenapa sih harus mengungkit dia lagi? Kami sudah putus."
"Tapi aku nggak bisa melepaskan pikiranku dari...itu. Aku nggak tau bagaimana cara melupakannya," ungkap Seira.
Seira harus jujur mengungkap perasaannya jika ingin hidupnya bisa lebih tenang. Sagara sebagai seorang suami pun harus memahami posisinya dan kesalahannya sebelum mereka melangkah lebih jauh lagi. Seira akan berusaha menerima masa lalu Sagara, tetapi prosesnya tidak akan cepat dan mudah. Butuh keluasan dan kelapangan hati untuk memaafkan.
Karena menerima masa lalu seseorang bersama orang lain butuh waktu yang tidak sebentar. Hal yang paling penting lagi, Sagara mau bersungguh-sungguh berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
"Tapi kamu mau kan ikut ke Bandung?"
Setelah menyudahi perdebatan kecil itu, Sagara bertanya penuh harap.
"Asal kamu janji nggak bersikap seenaknya."
Seira menginginkan tekad kuat Sagara jika dia ingin hubungan mereka seperti selayaknya pasangan suami istri yang memang pantas berbahagia.
"Aku harus mengingatkanmu kalau hubungan kita nggak mudah. Aku butuh waktu sampai aku menerima kamu dengan masa lalumu," lanjutnya lagi.
Sagara tidak terdengar tersinggung. Sebaliknya, laki-laki itu mengusap rambut Seira dan mengecup dahinya.
"Baiklah. Aku janji."
***
Seira menekan tombol hijau pada layar ponsel. Malam itu, ada panggilan tak terjawab ketika dia masih asyik beres-beres di dapur setelah makan malam. Ternyata mama yang menelepon. Seira menghubunginya kembali, begitu ada kesempatan.
Mama bertanya mengapa Seira tidak pernah menghubunginya selama di Puncak. Dari nada suaranya, mama memang tidak marah, tapi Seira bisa mendengar sebersit nada kecewa. Seira tidak pernah berubah. Sejak dulu paling malas jika harus berurusan dengan telepon.
Seira beralasan, kalau menelepon mama, bisa-bisa Seira jadi sedih, rindu rumah dan akhirnya malah memutuskan pulang. Padahal jarak Jakarta-Puncak cukup jauh. Lebih takutnya lagi, jika Seira malah enggan balik ke Puncak.
KAMU SEDANG MEMBACA
OVERRATED WIFE
Ficción GeneralSeira Dahayu, telah lama mengetahui jika dirinya dan Sagara terikat kawin gantung sejak mereka masih kecil. Kala itu Seira masih berusia 9 tahun dan Sagara berusia 11 tahun. Ia bahkan diminta untuk tidak menjalin hubungan asmara dengan laki-laki ma...