PART TIGA PULUH SEMBILAN

2.3K 364 23
                                    


    Sagara memarkirkan mobil di halaman restoran bakmi. Setelah memastikan tempatnya sudah tepat, Sagara turun dari mobil sambil menekan tombol panggilan dengan tangan kanan sementara tangan kiri menutup pintu.

"Kamu di mana? Ini aku sudah di parkiran." Sagara memberitahu Seira untuk menemuinya di mobil. Dia tidak begitu terburu-buru meninggalkan tempat itu, tetapi dia lebih senang lagi kalau mereka bisa segera pergi ke tempat tujuan berikut sebelum balik ke hotel.

Belum sempat jauh meninggalkan mobil, Seira menghampirinya.

"Aku nunggu di sana." Ternyata Seira sudah berada di luar restoran, menunggunya di bawah pohon. Seira tidak sendiri, tetapi bersama Nadin, temannya yang baru menikah, juga kakak Nadin, Randi.

Sekilas Sagara melihat ke Nadin kemudian Randi. Mereka pasti sudah janjian bertemu dengan Seira.

"Mas, apa kamu ada waktu setelah dari sini? Karena aku sama Nadin dan Mas Randi mau ke kafe yang nggak jauh dari sini."

Sagara masih ganjil mendengar sapaan Seira. Cenderung geli, sebenarnya.

Sebelum bertanya 'mau ngapain?' Sagara mengganti pilihan jawaban menjadi ucapan yang lebih diplomatis. Meski sebenarnya saat itu dia lebih ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan Seira.

"Boleh," balas Sagara, berharap waktu yang mereka habiskan tidak akan lama.

"Kebetulan Mas Randi mau ngobrol-ngobrol soal agrobisnis." Seira menambahkan.

"Makan soto mi-nya udah?" tanya Sagara, memastikan. Dia sendiri sudah makan pasta di sebuah kafe yang dilewatinya ketika menjemput Seira. sagara tidak ikut makan soto mi, karena ingin memberi waktu bagi Seira dan Nadin. Obrolan mereka mungkin tidak akan nyaman dan leluasa dengan kehadirannya.

"Sudah," jawab Seira.

"Ya udah, ayo berangkat kalau gitu."

"Oke, Mas?" Nadin menoleh ke Randi.

"Oke."

***

Sebuah kafe bergaya modern dengan jendela kaca besar di mana mereka kini duduk, menjadi pilihan tempat mengobrol sambil menikmati aneka jenis kopi dan kue. Alunan musik klasik yang kerap diputar di tempat umum, semakin menambah kesan santai seperti suasana kafe pada umumnya.

Sesekali Seira melihat gerak-gerik Sagara, siapa tahu saja laki-laki itu sudah tidak betah. Tapi sejauh ini, cukup aman. Sagara cukup mampu berinteraksi dengan Randi, menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Sementara Randi juga terlihat senang dan antusias mengikuti obrolan. Sedangkan Nadin dan dirinya hanya sesekali menimpali.

Entah sejak kapan tangannya menggenggam tangan Sagara. Padahal seingatnya, sejak mereka duduk berempat di satu meja, Seira membuat jarak dari Sagara, karena posisi duduknya juga di samping Nadin. Tempat duduk yang menyerupai sofa membentuk huruf L, membuat mereka tidak perlu duduk berhadap-hadapan yang terkadang membuat canggung.

Begitu tersadar, Seira melepaskannya. Dan reaksi Sagara hanya meliriknya, tapi Seira yakin Sagara tidak setuju.

Laki-laki itu menjadi posesif sejak mereka kembali dari Jakarta. Posesif dalam arti, dia menunggu di depan pintu kamar setiap pagi, menunggu Seira membukakan pintu sebelum memohon ijin menciumnya sebagai ritual morning kiss versinya.

Seira belum mau mereka tidur sekamar di Puncak. Hal yang mengundang protes Sagara karena sebelumnya mereka sudah tidur sekamar dan seranjang saat di Jakarta. Seira beralasan, dia merasa nyaman tidur di kamarnya sendiri. Lagipula dia tidak mau kembali terbawa suasana dan menerima Sagara lagi untuk memuaskan dirinya. Kalau tidur di kamar terpisah, Sagara bisa lebih mengontrol dirinya.

OVERRATED WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang