Di atas kertas dia sudah pasti gugur sebelum melangkah ke tahap selanjutnya. Hanya kenangan masa kecil dan pernikahan bohong-bohongan tidak akan cukup. Tidak ada hal baik yang bisa dikenang Seira darinya ketika Sagara telah mengingkari janjinya secara sadar. Ibarat panas setahun yang terhapus hujan sehari.
Dan sekali lagi Sagara tidak akan menyalahkan siapa-siapa selain dirinya sendiri. Jika dia bisa lebih bersabar menghadapi egonya di masa lalu, mungkin sekarang hubungan pernikahan mereka akan menjadi sebuah kisah yang sempurna. Seira akan menatapnya penuh cinta dan hidup Sagara pun tidak akan serumit ini.
Tapi hidup adalah pilihan. Terlepas dari pilihan salah atau benar di masa lalu, hidup harus terus berlanjut.
***
Seira sedang menyirami tanaman di teras samping ketika suara klakson mobil Sagara terdengar. Dia masih harus menyelesaikan pekerjaan itu dan kembali ke dapur untuk membantu pekerjaan Mbak Darmi.
Terdengar lagi suara pintu mobil ditutup. Sagara hanya menolehnya sekilas sebelum mendaki tangga pendek menuju ke dalam rumah.
Bagus deh. Dia nggak ngomong.
Karena Seira tidak yakin memiliki mood yang baik untuk menanggapi setiap perkataan Sagara, maka Seira pun lekas menuntaskan pekerjaan dan masuk ke dalam rumah.
Saat berada di dalam rumah, rupanya Sagara sudah berlalu ke kamar.
"Tumben, Den Sagara akhir-akhir ini pulang sorean, Non."
Seira sudah berada di dapur ketika Mbak Darmi mengatakan kalimat itu. Seira mencuci tangan di bak cuci piring sambil mendengarkan.
"Mungkin lagi sibuk banget di lokasi proyek," balas Seira kemudian menutup keran air. Setelah mengurus tanaman, Seira akan melihat apa yang bisa dibantu di dapur sambil menunggu waktu Magrib tiba.
Mbak Darmi mengangguk.
Tidak ada lagi balasan dari Mbak Darmi tentang Sagara karena mereka sudah mulai sibuk menyelesaikan masakan dan dilanjutkan bersih-bersih. Tinggal menggoreng tempe dan bakwan, dua menu yang sering hadir di setiap makan siang dan makan malam. Menurut Mbak Darmi, sepertinya Sagara menyukai tempe dan bakwan yang terkadang dijadikan camilan. Makanya Mbak Darmi sering membuatkan kedua jenis gorengan tersebut untuk Sagara.
Seira sangat takjub dengan dedikasi Mbak Darmi di dapur. Sementara Seira sendiri tidak terlalu memusingkan makanan apa yang mungkin disukai atau tidak disukai Sagara, justru Mbak Darmi-lah yang lebih tanggap. Pengetahuannya sebatas bahwa Sagara tidak menyukai makanan yang dipanasi, selain itu dia tidak paham apa-apa lagi tentang Sagara. Atau barangkali penyebabnya karena selama ini, makanan kesukaan Sagara memang tidak begitu spesifik.
Lagipula apa pedulinya? Sagara akan memakan apapun makanan yang dihidangkan untuknya tanpa pernah komplain. Sekali waktu, laki-laki itu begitu lahap menyantap nasi bersama lauk sayur asem dan ikan asin peda. Lalu makan ditemani lauk pete bakar dan sambal terasi.
Di balik selera tingginya terhadap barang-barang mewah, ternyata dalam hal makanan, Sagara bisa lebih berkompromi. Perutnya cocok saja dengan menu makanan sederhana.
Seira tidak akan terlalu terkejut jika Sagara meminta makanan mewah seperti ketika mereka menginap di Bandung. Seolah Sagara dan selera tinggi telah menjadi satu kesatuan. Sehingga ketika Seira tahu ternyata Sagara tidak begitu pemilih makanan, Seira jadi cukup takjub dibuatnya.
Apa ini sebuah pertanda jika penilaian yang selalu skeptis terhadap Sagara harus diubah mulai dari sekarang.
"Saya ke atas dulu ya, Mbak? Mau mandi sekalian nunggu waktu shalat," pamit Seira kepada Mbak Darmi yang juga sudah menyelesaikan pekerjaan mencuci piring.
KAMU SEDANG MEMBACA
OVERRATED WIFE
General FictionSeira Dahayu, telah lama mengetahui jika dirinya dan Sagara terikat kawin gantung sejak mereka masih kecil. Kala itu Seira masih berusia 9 tahun dan Sagara berusia 11 tahun. Ia bahkan diminta untuk tidak menjalin hubungan asmara dengan laki-laki ma...