Part 1

100K 5.1K 145
                                    

Gadis cantik dengan seragam putih abu-abu itu mulai memasuki rumah. Sedikit mengerutkan kening ketika mendapati banyak sekali mobil mewah berjejer pada depan rumah. Sudah bisa ditebak jika di dalam sana sedang terjadi kumpul keluarga. Jangan tanya kenapa gadis itu tidak di ajak. Tentu saja karena statusnya yang menjadi anak haram dari Ayahnya.

Kalau saja tidak memikirkan tentang Ibu kandungnya yang membutuhkan uluran dana untuk kesembuhannya, sudah sedari dulu dirinya melarikan diri dari keluarga ini. Hidup gadis itu penuh dengan kepedihan di sini. Tak dianggap, dicaci, dimaki, bahkan pernah hampir diperkosa oleh saudara dari Ibu tirinya. Memang jalan hidupnya semenyedihkan itu. Tapi dirinya tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada siapapun. Bukankah terlihat lemah akan membuat musuh kita merasa menang?

"Dirlara." 

Panggilan itu membuat Dirlara menoleh. Melebarkan senyum melihat ke arah kakak tiri yang bergelayut manja pada lengan suaminya. Lihatlah betapa pandainya perempuan itu berakting seolah dia adalah kakak yang baik dan tugas Dirlara hanya mengikuti sekenario yang kakaknya ciptakan, bukan?

"Hallo Kak Nami, hallo kakak ipar." sapa Dirlara ramah. Memang mau apalagi? Bersikap kasar hanya akan membuat Dirlara menahan lapar seharian penuh. Hukuman untuk anak tak tahu diuntung katanya.

"Ayo masuk udah ditunggu sama semuanya."

"Aku." tunjuk Dirlara pada dirinya sendiri.

"Iya, kamu. Udah ditunggu di ruang keluarga yuk." ajak Namira begitu ramah.

Dilara mengangguk lalu mengekori kakak tiri dan suaminya. Sebenarnya banyak pertanyaan dalam diri Dirlara. Mungkinkah ada sesuatu hingga dirinya yang menyabet predikat anak tak diinginkan, diajak untuk menghadiri pertemuan keluarga? Mungkinkah akan ada pengumuman jika dirinya dibuang. Kalau iya maka dengan senang hati Dirlara akan melakukannya.

Ataukan ini seperti cerita novel yang selalu dibacanya. Jika pertemuan keluarga ini untuk membahas perjodohan. Maka dengan senang hati Dirlara menerima, dirinya sudah terlalu muak berada dalam keluarga penuh kemunafikan ini. Hidup berdampingan dengan Ibu tiri yang seperti penyihir, ayah yang tak peduli padanya membuat Dirlara muak.

"Assalamualaikum." 

Hening. Tidak ada yang menjawab salam dari Dilara, membuat gadis itu bercedak sebal. Ayolah, tak suka pada orangnya bukan berarti tak menjawab salamnya bukan?

"Assalamualaikum yang denger salam gak jawab masuk neraka." celetuk Dirlara membuat semua orang yang berada di sana menjawab secara lirih. 

"Duduk,"

"Dimana? Pangkuan Papa." celetuk Dilara membuat Angga menggeser posisinya menjauh dari istrinya, hingga menyisakan jarak yang bisa Dilara duduki.

Memang seluruh kursi di ruangan ini sudah penuh. Diisi oleh Kakek, Nenek, Papa, Mama tiri, Namira, kakak ipar bahkan orang tua kakak iparnyapun turut hadir. Entah ada apa Dirlarapun tak mengerti.

"Dirlara." panggilan itu membuat Dirlara mendongak. Menatap ke arah neneknya. Seingat Dirlara, mungkin inilah pertama kali seumur hidup namanya dipanggil oleh perempuan paruh baya itu.

"Kenapa, Nek?"

"Kamu tahu apa posisimu?" Dilara mengangguk lalu tersenyum ceria.

"Bagus. Terus kamu tahu kenapa kamu berada di sini?" Dilara menggeleng.

"Sudah saatnya kamu balas budi atas semua yang keluarga saya lakukan untuk membesarkan kamu dan merawat ibu kamu yang jalang itu, Dirlara."

Dahi Dirlara mengkerut tanda tak paham atas ucapan neneknya. Kemudian mata Dirlara mengedar, menatap semua yang hadir tapi mereka seolah acuh. Seakan sudah paham dengan arah pembicaraan sang nenek.

"Biar Nami yang bicara sama Dirlara, Nek." sela Namira membuat perempuan berambut putih itu mengangguk.

"Kamu tahu, Dir? Beberapa minggu yang lalu aku mengalami musibah. Aku dan Mas Denis harus kehilangan calon anak kami. Bukan cuma itu, bahkan aku juga kehilangan kandungan. Aku udah gak bisa punya anak lagi."

Dirlara menatap ke arah anak tiri dari Ayahnya itu. Dirlara kira jika Nami adalah orang yang sempurna cantik, kaya, pintar dan selalu dibanggakan semua orang. Tapi nyatanya perempuan itu tak sesempurna itu, Nami tidak bisa memiliki keturunan.

"Dir."

"Ya, Kak?"

"Jadi kamu mau ya? Menikah sama Mas Denis."

"Kenapa harus Dilara?" jawab Dilara dengan suara serak. 

"Karena kamu satu-satunya orang selain Namira yang mewarisi darah Mahendra. Toh kalian bukan saudara seayah atau seibu jadi Denis bisa menikahi kalian sekaligus. Gak ada pilihan lain selain iya. Pernikahan kalian dua hari lagi. Hanya sederhana dan disaksikan keluarga." tangan Dilara mengepal, menatap sengit ke atah perempuan patuh baya di hadapannya. Sungguh Dirlara merasa hidupnya dipermainkan, tapi menolak pernikahan itupun tak mungkin. Keselamatan Ibu kandungnya jadi taruhan.

"Cukup lahirkan keturunan untuk penerus kedua keluarga. Kalian bisa bayi tabung lalu..."

"Gak! Aku mau jadi istri kedua tapi aku gak mau bayi tabung. Aku mau kalau semua terjadi secara alami. Bukankah setelah aku menjadi seorang istri, aku berhak mendapat sentuhan dari suamiku?"

"Dirlara!" sentak Namira lantang.

"Kenapa? Bukankah kamu rela untuk membagi suamimu, heh." ejek Dirlara pada kakak tirinya itu.

"Jangan kira aku gak tahu apa yang ada dipikiran kalian. Kalian hanya memanfaatkanku untuk mendapat penerus untuk keluarga inikan? Lalu kalian memisahkanku dengan anakku nanti. Tidak, aku tidak sudi! Jadi kalau kalian masih menginginkan pernikahanku dengan kakak iparku itu terjadi. Harus ada surat perjanjian yang menyatakan kalau aku tidak akan terpisahkan dengan anakku nanti." tantang Dirlara membuat ruang keluarga itu menjadi hening.

"Picik sekali pikiranmu, Dir!"

"Bukankah kamu sendiri yang mengajari perempuan disampingmu ini menjadi manusia picik Mama tiri?" Setelah mengatakan itu Dirlara memilih beranjak meninggalkan ruang keluarga yang auranya sudah persis seperti ruang neraka.

Dirlara hanya cuek, mencoba tak peduli. Namun satu hal yang Dirlara tahu jika kehidupannya setelah ini akan berubah.

Salam sayang,
Author

Sang Istri Kedua, Dirlara!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang