Perempuan dengan rambut tergerai yang mendudukan diri di depan meja rias itu menghela nafas panjang saat sepasang tangan melingkari perutnya, disusul kecupan-kecupan ringan yang mendarat pada puncak kepalanya.
"Maafin Mas, Ran." sesal lelaki paruh baya yang meletakkan kepalanya pada ceruk leher istrinya.
Sedangkan perempuan paruh baya yang dipanggil Ran itu hanya terdiam sembari menggigit bibir bawahnya berharap isak yang ditahannya mati-matian tak menyeruak. Lelah hatinya sangat lelah dengan semua luka yang dipendamnya selama ini. Selain itu dirinya juga takut jika nanti kata yang terucap dari bibirnya bisa menggores luka pada hati suaminya. Dirinya tahu rasanya hati tersayat maka dirinya tak mau orang lain merasakannya juga terlebih itu berasal dari bibirnya.
Ibarat malam mungkin Rani sudah seperti bintang yang kerlipnya tertutup dimakan kelam. Ada tetap mencoba menampilkan sinarnya namun tak terlihat ditikung sang mendung.
"Jangan tinggalin, Mas."
Hanya tiga kata namun sukses membuat dada Rani kembali berdenyut nyeri. Setelah kesakitan yang tak berkesudahan diberikan dengan seenaknya laki-laki yang selalu menyiram cuka pada lukanya itu meminta Rani untuk tetap tinggal. Tak tahukah laki-laki itu jika selama ini Rani sudah hampir kehilangan kewarasan karena terus bertahan? Apakah kurang lama mendung yang diberikan hingga mencoba mempersatukan lagi, untuk apa toh hasil akhirnya nanti akan tetap sama hancur lebur dan luka nanah yang semakin berambak.
"Tetap disini, Ran. Mas gak bisa tanpa kamu. Mas sayang kamu." Rani tersenyum pedih lalu menggeleng.
"Ayo kita berpisah, Mas. Sudahi semuanya aku rasa ini sudah cukup." lirih Rani dengan suara serak, ini terlalu berat untuk perempuan paruh baya itu juga.
Hidup bersama tak memungkiri jika yang didapat tak hanya kesakitan, banyak juga kebahagiaan dan semua hal indah yang dilalui bersama Pram. Namun kebahagiaan yang dirasakan Rani tak sebanding dengan kesakitan yang didapatkan. Lebih banyak goresan-goresan luka yang Pram ukir dalam hatinya, awalnya hanya sedikit demi sedikit sampai akhirnya Rani tersadar jika luka dalam hatinya sudah terlalu dalam.
"Ran."
"Aku sudah memberimu pilihan, Mas. Silahkan jika ingin bersama dengan siapapun itu asalkan lepaskan aku terlebih dahulu. Hatiku sudah cukup hancur untuk terus-terusan menerima pukulan demi pukulan telak yang akan kamu lancarkan lagi, Mas."
"Mas mohon jangan, Sayang. Mas minta maaf Mas janji.."
"Jangan pernah menjanjikan sesuatu yang tidak bisa kamu tepati nantinya. Karena janji itu bukan hanya tentang aku dan kamu tapi juga dengan Tuhan. Aku mungkin bisa menampung omong kosongmu, tapi Tuhan mungkin tidak. Aku takut kamu mendapatkan sentilan yang akan membuat bibirmu tak bisa lagi berucap." ujar Rani dengan nada datar, bahkan tatapan mata perempuan paruh baya itu hanya kosong.
Sungguh hati Pram rasanya ikut remuk redam melihat pemilik tulang rusuknya terlihat begitu terluka. Dan yang paling Pram benci adalah kenyataan jika luka yang diterima Rani, Pram sendiri yang melukisnya.
"Kayaknya kamu butuh waktu untuk sendiri dulu, Ran. Bilang sama Mas kamu mau beli apa? Atau kamu mau liburan dimana? Nanti kalau pikiranmu sudah jernih, baru kita selesaikan kesalah pahaman diantara kita."
Cukup sudah, Rani sudah muak terus-terusan terdiam. Semakin Rani menahan agar tidak terjadi pertengkaran malah membuat Pram semakin menggila. Bahkan raut penyesalanpun tak terlihat dari laki-laki paruh baya itu. Pram memang laki-laki berengsek!
"Kamu nganggep semua ini cuma kesalah pahaman, Mas? Gila kamu!" amuk Rani dengan nafas memburu. Bahkan sekarang Rani beranjak dari duduknya dan menatap tajam ke arah Pram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Istri Kedua, Dirlara!
FanfictionTentang gadis berkewarasan minim bernama Dirlara yang dipaksa jadi istri kedua dan melahirkan anak untuk penerus keluarga. Alih-alih menolak justru Dirlara malah memilih untuk menerima dan malakukan hal-hal gila yang membuat semua orang disekitarny...