Gadis berkuncir kuda itu menatap pada cermin di hadapannya. Terlihat seorang gadis cantik mengenakan dress berwarna putih berpadu dengan sepatu cats, jangan lupakan sebuah tas slempang terlampir pada pundak. Menambah kesan sempurna pada gadis itu.
Jangan tanya kenapa Dirlara berpenampilan berbeda sekarang. Semua dikarenakan ini merupakan hari spesial yaitu pengambilan piala atas kemenangan Dirlara dalam lomba cipta puisi tingkat SMA.
"Duh cantik banget anaknya Riana." kekeh Dirlara seraya tersenyum pada bingkai foto yang berada di atas meja.
"Bunda nanti Dirlara bakalan nerima piala. Soalnya Dirlara menang lomba, juara satu nulis puisi tingkat SMA loh. Bunda bangga gak? Enggak ya? Gak papa kok Bun, yang penting denger keadaan Bunda sehat aja Dirlaranya Bunda ini udah seneng kok." ujar Dirlara sembari menghapus satu titik air mata yang dengan tanpa permisi turun dari sudut matanya.
"Dirlara gak nangis kok Bun. Ini kelilipan aja, tuhkan gak netes lagi. Berarti bener kalau cuma kelilipan. Oh ya menurut Bunda, Papa nanti bangga gak ya sama Dirlara? Kan Dirlara berprestasi juga. Walau gak sehebat Kak Nami sih. Tapikan setidaknya Dirlara bisa buktiin kalau Dirlara bukan cuma pembuat onar dan aib keluarga aja.
Bunda tenang aja tujuan Dirlara nunjukin piala nanti bukan untuk minta mobil kayak Kak Nami kok. Dirlara cuma minta Papa buat peluk terus senyum dikit, dikit banget juga gapapa. Biar Dirlara bisa ngerasain kalau setidaknya kehadiran Dirlara diinginkan. Soalnya Papa gak pernah natap Dirlara Bun, apalagi kalau liat matanya Dirlara pasti Papa langsung marah. Bahkan saat Dirlara cuma diem aja, Papa juga langsung marah."Lirih Dirlara sebelum memasukan lagi bingkai yang berisi foto sang Bunda ke dalam laci.
"Senyum, gak boleh nangis. Dirlara semangat." ujar Dirlara seraya mengepalkan tangan ke udara.
Daripada terlarut dalam kesedihan. Gadis berkuncir kuda itu lebih memilih untuk beranjak. Pergi ke dapur untuk mengganggu Rani memasak mungkin lebih baik.
Lalu dengan langkah percaya diri gadis itu mulai keluar kamar dan
Degh,
Jantung Dirlara langsung rasanya berhenti berdetak melihat pemandangan di depan sana. Bagimana Denis dan Nami terlihat saling mencecap. Dengan tangan Nami mengalung pada leher Denis dan tangan Denis yang bersembunyi di dalam dres milik Nami.
Bukan cuma sekali. Bahkan ini adalah kali kedua Dirlara melihatnya. Pamer? Memanas-manasi atau mungkin ingin menunjukkan seberapa kedudukan Dirlara disini. Gadis yang harus dengan lapang dada menerima status sebagai istri kedua yang hanya dibutuhkan untuk melahirkan penerus?
Sudah biasa bukan dirinya harus berkompetisi dengan Nami? Perempuan kesayangan dengan sejuta kebaikan dan prestasinya. Haruskah lagi-lagi Dirlara mengalah dan menjadi pecundang untuk yang kesekian kalinya?
"Harusnya mereka yang sadar posisi yakan? Toh aku menjadi yang ketiga juga karena diinginkan bukan?" lirih Dirlara seraya terkekeh.
Namun bukan seperti semalam dimana Dirlara memlihin untuk mundur dan menjauh seakan tak melihat apapun. Sekarang gadis itu malah melanjutkan langkah mendekati sepasang insan yang dimabuk kepayang itu.
"Minggir!" bentak Dirlara membuat Denis melepas rengkuhannya pada Nami.
"Dir,"
"Maaf ganggu tapi aku cuma mau turun ke bawah. Jadi kalian bisa geser sekarang?" ketus Dirlara sembari melirik ke arah tangga yang tepat berada di belakang Nami dan Denis.
"Maaf, Dir."
"Gak perlu minta maaf, Kakak gak punya salahkan sama aku," ucap Dirlara dengan senyum mengembang sembari membersihkan sekitar bibir Denis menggunakan punggung tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Istri Kedua, Dirlara!
FanfictionTentang gadis berkewarasan minim bernama Dirlara yang dipaksa jadi istri kedua dan melahirkan anak untuk penerus keluarga. Alih-alih menolak justru Dirlara malah memilih untuk menerima dan malakukan hal-hal gila yang membuat semua orang disekitarny...