Part 8

36.2K 3.7K 427
                                    

Mobil berwarna putih itu melaju meninggalkan pekarangan rumah. Merayap berbaur dengan padatnya kendaraan. Keadaan jalanan pagi ini begitu padat, membuat laki-laki beristri dua yang berada di balik kemudi itu tidak bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.

"Udah makan, Kak?" pertanyaan itu membuat Denis menoleh. Kedua sudut bibirnya berkedut mendapati istri kecilnya yang kesusahan membuka kotak bekal. 

Diam-diam Denis mengamati setiap ekspresi wajah yang Dirlara tampilkan. Semua ekspresi wajah Dirlara yang terlihat lucu di matanya. Bersungut-sungut dengan bibir mengerucut saat kesusahan membuka kotak bekal. Lalu senyuman cerah dan bertepuk tangan saat kotak itu bisa terbuka sungguh menarik di mata Denis.

"Ye si Bapak ditanya malah bengong." 

"Lah kamu pake nanya segala jelas belum makanlah."

"Biasa dong gak usah nyolot sih. Tapi karena hari ini aku lagi baik, bekelnya aku bagi sama kamu deh. Aaakkk dong anak manis." 

Dirlara menyodorkan sendoknya di depan mulut Denis, membuat laki-laki itu membuka mulut menerima dengan senang hati suapan istrinya. Tidak mungkin Denis melewatkan kesempatan emas ini, bukan? Kapan lagi bisa mendapati Dirlara tidak bersikap seperti setan kalau bukan sekarang.

"Kakak kok gak makan dulu sih? Sarapan itu penting, apalagi Kakak kerja. Nanti kalau kerja tapi perutnya keroncongan jadi gak konsen tau."

"Gimana saya bisa enak-enakan nikmati sarapan kalau istri kecil saya ini gak ikut sarapan." sindir Denis membuat Dirlara menyengir.

"Maaf Kak. Abisnya tadi takut dimarahin sama Mama. Soalnya tadi aku buat ulah pas di meja makan. Serem tau kalau Mama lagi marah suka ngomel sama nyubit sampai biru-biru kayak disemprot tinta cumi-cumi." 

"Makanya jangan jahil-jahil. Jadi cubit sama Mamakan. Udah nanti pulang sekolah beli salep di apotik buat ngilangin bekas yang di pinggang trus pantat kamu. Oh ya sama yang di sekitar dada, disana ada jugakan?"

"Iya, Kak." dahi Dirlara mengkerut. Merasa ada yang aneh dengan ucapan Denis. Tapi perempuan berkuncir kuda itu memilih abai. Berpikir terlalu dalam hanya akan membuat otaknya bekerja terlalu keras, Dirlara takut otaknya akan cidera.

Jadi Dirlara memilih abai dan terus menyuapkan nasi goreng pada mulutnya dan mulut suaminya itu. Hingga beberapa saat kemudian pupil Dirlara melebar.

"Kak."

"Ya, Dir?"

"Kan aku gak pernah cerita sama siapapun. Tapi kok Kakak tahu kalau aku punya bekas luka?"

Denis menyengir lalu menggaruk belakang lehernya yang tak gatal. Merutuki mulutnya sendiri yang sembarangan berbicara.

"Em itu gak sengaja liat pas kamu mandi kemarin. Cuma bentar doang Dir sumpah. Liat dikit doang Dir, diikkiiittt."

"Hah? Kemarin? Jangan bilang kalau.." Dirlara menunduk lalu mendongak seperti memberi kode yang langsung diangguki oleh Denis.

"Iya. Pas kamu lagi nyukur..."

"Diem!" bentak Dirlara dengan muka merah padam membuat Denis terbahak.

~Sang Istri Kedua, Dirlara!~


Mobil yang berwarna putih itu tak bergerak, bahkan sedari tadi masih menetap di tempat yang sama. Bukan Denis yang ingin berlama-lama di sana namun karena terjadi kecelakaan di depan sana membuat jalanan tersendat. Kemudian laki-laki itu melirik ke arah jam di tangannya. Sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. 

Sebenarnya Denis tak masalah jika terjebak pada kemacetan. Toh dirinya adalah seorang boss tidak akan ada yangnmemarahinya. Tapi bagaimana dengan Dirlara? 

Sang Istri Kedua, Dirlara!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang