Part 11

32.6K 3.1K 365
                                    

"Mama jahat!" jerit Dirlara dengan suara serak.

"Dirlaraaa!"

"Ma, sekali aja aku nentuin apa yang aku mau gak bisa? Kenapa kalian selalu ngatur aku. Aku juga manusia. Aku juga mau ngatur hidupku sendiri!" ujar Dirlara membuat perempuan paruh baya di hadapannya mendelik dan berkacak pinggang.

"Gak usah banyak omong kamu!"

"Aku gak minta banyak, Ma. Cuma sekali aja biarin aku sama dia. Setidaknya untuk beberapa saat aja."

"Sesaat? Gak bisa! Kamu kalau dibiarin bakalan ngelunjak."

"Ngertiin aku sedikit aja, Ma. Aku gak semudah itu menjauh dari dia. Selama ini dia banyak berjasa buat aku. Bahkan tanpa aku minta dia selalu ada buat aku. Sekali aja, Ma. Aku mohon."

"Lebay, udah kayak pemain sinetron aja." cibir Rani.

"Sekali ini aja, Ma." ujar Dirlara dengan mata berkaca.

"Gak bisa! Inget posisimu, Dir! Kamu udah nikah sekarang. Jaga batasanmu, harusnya tau kodratmu sebagai seorang istri."

"Setidaknya kalau aku gak bisa milikin dia. Biarin aku menghabiskan waktu sedikit lama sama dia, Ma." mohon Dirlara mengiba pada Rani. Namun seperti perempuan paruh baya itu hanya mencebikkan bibir dan menatap sinis anak tiri yang selalu membuat kepalanya pening itu.

"Aku gak masalah Mama nikahin aku sama Kak Denis. Mama selalu marah-marah nyubit aku. Tapi maaf, Ma untuk kali ini aku gak bisa nurut. Aku belum bisa ninggalin dia sekarang."

"Udahalah Dir. Gak usah banyak alasan sekarang..."

"Cuma dia yang bisa buat aku nyaman, Ma."

"Gak usah banyak drama."

"Bayangkan Ma. Dia yang selalu ada. Bahkan saat dunia seolah memojokkanku dia satu-satunya yang bisa merimaku. Masak aku harus mencapakannya? Aku ngerti rasanya dicampakan, cukup aku yang merasakan rasa sakit. Dia jangan."

"Mau Mama cubit?" ancam Rani membuat Dirlara menggelengkan kepalanya.

"Ya Tuhan betapa malangnya nasib hambaMu ini. Mempunyai Ibu tiri yang tak pernah mengerti perasaan anak tirinya sama sekali. Memang Ibu tiri yang terbaik hanya Bunda Ashanti." 

"Ashanti kalau punya anak tiri bentukan kayak kamu juga langsung mengundurkan diri!"

"Banyak omong sekali kau Roma."

"Yang banyak omong itu kamu! Cuma disuruh bangun dari kasur aja udah kayak diajak buat pergi ke medan perang. Pake nyebut kasur sebagai dia inilah, dia itulah. Menerima apa adanya. Seandainya kasur bisa udah pasti dari dulu milih membakar diri daripada punya majikan sableng kayak kamu. Udah sekarang bangun cepet mandi."

"Iya, iya ini bangun." gerutu Dirlara seraya bangkit dari tidurnya.

"Mandi sana." perintah Rani galak seraya menunjuk toilet yang berada di pojok ruangan.

"Tapi aku hari ini libur, Ma."

"Libur? Mana ada sekolah tiap hari libur. Lagian kemarin pas kamu libur itu Monik masuk sekolah kok kata Nisa. Terus Mama juga lihat itu si Derren tetangga sebelah yang jadi ketua osis juga berangkat sekolah tadi pagi."

"Monik itu masuk terus karena dia naksir tukang kebun, Ma. Modus bantuin nyapu. Kalau di Derren itu jelas masuk terus, Ma. Minggu aja dia diterobos. Mama jangan bilang siapa-siapa ya? Sebenernya Derren itu bukan ketua osis tapi jualan sosis." jelas Dirlara membuat Rani meraih telinga anak tirinya itu.

"Tukang kebun disekolah kamu itu udah tua mana mau Monik sama dia."

"Tapi Pak Joko duda, Ma."

"Duda tua, jelek juga buat apa."

Sang Istri Kedua, Dirlara!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang