Part 23

24.5K 2.6K 335
                                    

HALLO KANGEN GAK NIH?
SENGAJA UP MALAM MINGGU UNTUK MENEMANI KALIAN YANG MALAM MINGGUNYA BERTEMAN KELAM
MARI TERTAWA BERSAMA DIRLARA!
Selamat membaca

~Sang Istri Kedua, Dirlara!~

Dirlara melirik ke arah jarum jam di tangannya, dimana jarum panjang berada di angka satu sedangkan jarum pendek berada di angka dua. Ini menandakan bahwa jamya tidak mempunyai ini satif sama sekali. Hanya karena baterai tak diganti, jarum-jarumnyapun hanya berdiam diri. Dasar pemalas!

"Sebenernya aku pengen nangis. Tapi aku tetep happy kiowok. Nangis? Haha Kiowok." kekeh gadis berkuncir kuda itu sembari menempelkan plester berwarna hitam untuk meredakan darah kental yang masih saja mengucur walau hanya sedikit pada dahinya.

Tadinya dirinya ingin terus mengaitkan kain yang diambilnya dari jemuran. Namun semua harus diurungkan mengingat jika Rani mungkin akan mengamuk jika mengetahui scraf yang biasa terikat pada tasnya berlumur darah. Mengingat itu Dirlara kembali teringat tentang keinginannya untuk membuat dunianya menjadi gelap dengan mencongkel kedua bola matanya yang terpaksa diurungkan.

"Susah banget jadi orang miskin ya Allah. Niat mau nyongkel mata aja terpaksa batal gara-gara duitnya enggak cukup buat beli gunting." gumam Dirlara pelan sembari melanjutkan langkahnya.

Kepalanya masih sedikit berdenyut. Dirlara ingin memeriksakan diri, gadis itu takut jika kehabisan darah dan berubah menjadi vampire. Tadinya Dirlara sudah mencoba pergi ke tukang tambal ban, meminta baik-baik untuk ditambal bagian kepalanya. Namun si tukang tambal ban malah mengusirnya, bahkan dengan teganya mengata-ngatai Dirlara gila. Sungguh memang manusia tak punya peri kemanusiaan.

Tak habis pikir Dirlara mencoba untuk singgah ke tempat selanjutnya. Dari plangnya sudah tertulis "Juna Tailor" melayani segala jenis jahitan. Saat Dirlara mencoba untuk meminta kepalanya dijahit, bukan dilayani malah Dilrara disarankan untuk mengikuti ruqiah masal di kantor kecamatan yang akan dilakukan esok hari.

Mengapa disaat membutuhkan orang lain begini, tidak ada satu orangpun yang mau menolongnya? Padahal selama ini Dirlara sudah menjadi gadis berahlak mulia dan kalem. Tapi tetap saja tidak ada satupun yang sudi mengulurkan tangan padanya.

"Kepalanya sakit. Nyut-nyut gitu." keluh Dirlara sembari memegangi tasnya dan menggigit bibir bawahnya. Menahan denyutan yang semakin terasa pada dahinya.

"Mau ke rumah Ayah pengen curhat sama peluk Ayah." lirih Dirlara sambil berkaca-kaca.

"Tapi lukanya harus ditutupin dulu, jangan pake plester hitam gini. Nanti Ayah gak mau ngelus-ngelus sama niup lukanya kalau pake tutupan luka jelek gini."

Setelah menghela nafas panjang. Gadis berkuncir kuda itu akhirnya kembali melanjutkan langkahnya. Tujuannya adalah makam sang ayah. Memang selalu begitu, karena hanya itu satu-satunya yang bisa Dirlara tuju. Tempat dimana Dirlara bisa tenang walau hanya berteman kesunyian.

~Sang Istri Kedua, Dirlara!~

Gadis berkuncir kuda dengan plaster hitam yang menghiasi dahinya itu menatap sengit ke arah perempuan dengan seragam putih-putih di hadapannya. Niatnya untuk memeriksakan luka pada kepalanya kali ini mengalami hambatan lagi.

Padahal kali ini Dirlara sudah memastikan jika dirinya tidak salah tempat seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan Dirlara juga sudah menjelaskan jika akan membayar melalui kartu atm, karena Dirlara tidak memegang uang sama sekali. Namun perempuan gendut di hadapannya itu masih saja tak terima bahkan sekarang mengusir Dirlara sembari membawa sapu.

"Pergi gak kamu!" sentak perempuan bernametag Beti itu sembari mengacung-acungkan sapu bersiap untuk memukul Dirlara.

"Eh, Mbak jangan pake kekerasan dong!"

Sang Istri Kedua, Dirlara!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang