🌺🌺🌺
"Nyi Rambi? Istri kedua Ki Tejalingga?"
Sukanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan sang suami.
"Awalnya aku tidak menaruh curiga apa pun kepadanya. Tetapi setelah aku memikirkan lagi, agaknya sikap Nyi Rambi yang tidak biasa itu ada kaitannya dengan Ki Tejalingga," tambah Sukanya seraya melepaskan satu per satu perhiasan yang melekat di tubuh untuk diletakkan ke dalam candapeti. "Beliau tiba-tiba saja menyapaku saat pergi ke pekan. Sebelumnya pun, Rum memberitahuku bahwa Nyi Rambi sengaja mendekatiku dan mengajak berbincang. Namun, aku tidak menghiraukannya. Aku pikir beliau hanya ingin berunggah-ungguh saja." [Pekan; pasar, candapeti; peti tempat menaruh barang berharga]Pulungwangi yang menyimak sambil duduk di pinggiran dipan mulai menampakkan mimik yang sungguh-sungguh.
"Sampai akhirnya Ki Tejalingga bertandang ke kediaman dan mengutarakan maksudnya. Aku baru menyadari hal ini, Kakang." Sukanya mengimbuhkan.
"Tetapi, jika Nyi Rambi hanya mengajak berbincang, mungkin saja beliau memang hanya berunggah-ungguh saja, Sukanya." Pulungwangi menanggapi.
"Entahlah. Aku merasa sepertinya beliau mempunyai niatan tertentu. Hanya saja, aku memang tidak berkenan untuk menjadi lebih dekat dengan Nyi Rambi. Beliau suka berlama-lama dalam berbincang dan aku tidak menyukai itu," ungkap Sukanya.
Tersenyum simpul Pulungwangi mendengar keluhan sang garwa. Ia dengan lembut memainkan rambut panjang Sukanya yang telah berpindah di sisinya.
"Jika demikian, tidak perlu lagi berdekatan dengan beliau. Lagi pula, bukankah kegiatan ke pekan sudah dilimpahkan ke Rum? Ah, aku jadi tidak sabar untuk melihat kesatria kecil kita nanti. Oh, ataukah ia akan menjadi seorang dewi?"
Sukanya tertawa kecil, merasa geli atas ucapan sang suami juga karena rasa menggelitik di perut yang kini sedang dielus-elus Pulungwangi.
"Bersabarlah, Kakang. Dua sasi lagi kau akan dipanggil 'bapa'", katanya penuh bangga dan harap.
"Bagaimana kalau kita memberikan panggilan untuk simbah mereka?" Pulungwangi mengusap dagunya yang tanpa jambang, terlihat berpikir keras. "Pi-pi untuk bapa, Ma-ma untuk ibu."
Sukanya dengan segera mencubit paha sang suami sampai terdengar suara mengaduh.
"Kakang pikir bapa dan ibu akan menyukainya? Bisa-bisa telinga Kakang akan memerah karena dijewer ibu. Kita gunakan saja panggilan yang sewajarnya. Pitāmaha untuk bapa dan mātāmahā untuk ibu," katanya.
[Kakek--nenek]Pulungwangi tergelak saja. Ia kemudian memeluk sang istri sebentar, mencium kening, lalu menuntunnya berbaring. Sebentar saja mereka mengganti perbincangan dengan rencana perjalanan ke Gunung Pawitra besok hingga keduanya diserang kantuk dan akhirnya terlelap.
🌺🌺🌺
Sesuai kesepakatan di hari sebelumnya, sebelum matahari naik sepenggalah, rombongan yang turut dalam perjalanan ke Gunung Pawitra telah bersiap di halaman. Kuda-kuda disiapkan oleh Pulungwangi dan Respati. Perbekalan pun telah ditata apik oleh Hyuning dan Sukanya. Pada waktu yang masih terlalu awal itu, Taramanik baru saja selesai dengan keperluannya. Penampilannya yang terbiasa anggun dengan kemban dan kain panjang kini tampak berbeda dengan busana khusus. Jarit panjangnya berganti kain berwarna cokelat gelap sepanjang lutut. Dibalutkan sedemikian rupa sehingga memudahkan pemakainya bergerak secara leluasa, terlebih untuk menunggang kuda. Sementara kembannya bersampiran ganda hingga menutupi hampir semua bagian atas. Terdapat ikat pinggang berwarna dadu, senada dengan kemban, untuk menyelipkan cundrik andalan. Tidak lupa senjata utamanya yang berupa keris dengan luk tiga.
Satu buntalan ditentengnya, sementara tangan kirinya membawa sebuah buntalan yang lain. Saat tiba di halaman, terlihat ibu beserta saudaranya telah sibuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembang Kinasih (SELESAI)
Historical FictionJodoh Taramanik sebagai putri seorang juru gusali telah diatur sedemikian rupa oleh sang orang tua. Namun bagaimana jadinya apabila dara jelita itu malah jatuh hati ke yang lain? Seiring rasa yang terus tumbuh, Taramanik menyadari itu adalah sebuah...