Salawe

16 3 0
                                    

🌺🌺🌺

Hutan malam itu sangat berisik, seakan-akan gangsir sedang beradu mulut. Sesekali lutung akan mengerih, burung-burung malam menggericau. Suara-suara itu laksana pengacau hati Taramanik yang saat ini memang sedang gelisah. Beberapa kali gadis itu mencoba beristirahat, tetapi bukan hewan-hewan malam yang mengganggu, tantangan Sakanti padanyalah yang menjadi penyebab utama. Tiap kali ia terpejam, bayangan Sakanti yang menunjuk dengan wajah murka membuatnya terjaga kembali.

Taramanik bukannya takut. Meskipun tentu saja ia lebih menyukai hal-hal berjalan dengan baik, tetapi bungsu Pu Banar itu bukanlah pecundang. Yang membebani pikirannya adalah bahwa ia sebenarnya tidak pernah menginginkan hal demikian terjadi.

Bungsu Pu Banar itu kemudian bangkit dari tidurnya yang hanya beralaskan tikar pandan. Tikar pandan itu pula adalah buatan tangannya beserta warga Wana lain. Tentu mereka tidak sempat membuat dipan atau amben sederhana karena mereka tidak akan menetap. Biasanya satu perempuan Wana atau segelintir bocah akan menemaninya dalam satu pondok. Akan tetapi, setelah tantangan Sakanti siang tadi, tidak ada dari mereka yang berani mendekatinya. Bahkan sekadar menyapa pun tidak.
Taramanik menghela napas panjang. Tebersit perasaan kecewa karena di saat ia membutuhkan dukungan sekadar untuk menyampaikan kalimat penenang, orang-orang yang dipikirnya akan membantu malah bersikap lain.

Setelah pikirannya melayang-layang, Taramanik memutuskan untuk keluar sekadar menyegarkan pikiran yang kalut.
Ia menggelung rambutnya yang terurai lalu mengambil sehelai kain untuk menutupi bahu. Kemudian tanpa ragu menyibak potongan kain sebagai pintu pondok. Gelap adalah suasana yang ditangkap indranya pertama kali. Gadis itu pun tidak langsung berlalu. Ia menunggu indra penglihatannya menyesuaikan dengan kegelapan di sekitar. Setelah beberapa saat lamanya, barulah kaki tanpa alas itu melangkah menembus pekatnya malam.

Taramanik mengedarkan pandangan dan hanya menangkap bayang-bayang pondok para warga. Kali ini mereka sama sekali tidak menggunakan penerangan dan si gadis memahaminya. Samar-samar ia mendengar rengekan bayi, tetapi hanya sebentar saja. Mungkin sang ibu segera menyusuinya agar tangis si bayi tidak mengganggu. Ketika itu terpikirkan olehnya untuk melakukan tapa singkat di dekat sungai. Maka ia pun melangkah menuju ke sana. Namun belum juga berlalu jauh, sebuah suara segera membuatnya bersikap waspada. Dalam hati Taramanik mengira bahwa itu adalah penjaga, tetapi rupanya yang dilihatnya adalah seorang pemuda yang ia kenal.

"Oh, Kakang Respati?" katanya dengan nada lega sekaligus bingung.

"Nyimas? Apa yang Nyimas lakukan di tengah malam seperti ini?"

Pertanyaan Respati agaknya membuat Taramanik bingung untuk menjawab. Tentu saja ia masih segan untuk membeberkan kenyataan bahwa ia membutuhkan ketenangan. Meskipun kini gadis itu tidak menganggap Respati sebagai orang asing, tetap saja ia harus menjaga batasan.

"Oh, aku hanya ingin pergi ke sungai." Taramanik menjawab dengan jujur.

"Apakah Nyimas memiliki keperluan di sana? Aku akan mengantar," tawar Respati.

"Tidak usah, Kakang," tolak Taramanik, "aku memang memiliki keperluan di sana tetapi aku akan pergi sendiri."

"Nyimas, ini sudah tengah malam dan kita berada di hutan. Aku hanya ingin memastikan Nyimas tetap baik-baik saja." Respati bersikukuh.

Mendengar itu, mendadak dada Taramanik berdesir. Memang sebelumnya ada banyak yang memberikan perhatian kepadanya, tetapi dengan Respati rasanya sangat berbeda kali ini.

"Aku tidak akan bisa mengampuni diriku sendiri jika terjadi sesuatu kepada Nyimas. Bisa dibayangkan bagaimana sedih dan kecewanya Yayi Pulungwangi nanti," lanjut Respati dan seketika itu Taramanik membatalkan senyum yang seolah-olah ingin mengembang di bibir.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang