Nemlikur

32 4 6
                                    

🌺🌺🌺

Sakanti menyuapkan suru ke sekian kepada Ki Ampal dengan perlahan. Suru berisi bubur itu sebenarnya tinggal separuh, tetapi pada suapan berikutnya Ki Ampal telah menolak. Pada saat itu Sakanti tidak memaksa dan segera bangkit untuk meletakkan mangkuk ke dekat pintu. Lalu mengambil kendi untuk dituangkan airnya ke sebuah cawan dari batok kelapa. Dengan hati-hati pula ia membantu sang bapa meneguk wedang tersebut.

"Apakah Windu belum kembali?" Suara serak Ki Ampal terdengar. Lelaki sepuh itu sedikit menyipit untuk memperhatikan air muka sang putri.

"Belum." Sakanti menjawab singkat. Ia merapikan sehelai kain untuk menyelimuti tubuh kurus kering sang bapa. Hanya sebuah tumpukan papan kayu sederhana sebagai dipan untuk ketua kelompok Wana tersebut. Bahkan itu lebih baik daripada warga lain yang beralas tikar pandan atau sehelai kain.

"Ini sudah hari kedua. Tidak biasanya ia begitu ketika pergi ke padukuhan," kata Ki Ampal.

"Dari sini ke padukuhan itu membutuhkan waktu hampir seharian, Bapa. Jadi kenapa mengkhawatirkan Kakang Windu? Bapa mau kupijat?" tawar Sakanti yang mendapat gelengan pelan dari Ki Ampal. "Kalau begitu aku akan pergi. Ada beberapa urusan di luar."

Ki Ampal masih memperhatikan tindak-tanduk putrinya yang membereskan perangkat makan.

"Sakanti...," panggilnya lagi, "apa ada yang terjadi di luar sana?"

Pertanyaan itu membuat langkah Sakanti tertunda. Ia pun menoleh seraya menjawab, "Kejadian apa, Bapa? Tidak ada yang terjadi. Semuanya baik-baik saja."

"Tadi pagi sepertinya aku mendengar sesuatu yang ribut di luar sana. Wukul dan Suma tidak dapat memberikan jawaban. Apakah terjadi sesuatu?"

Sejenak saja Sakanti menahan napas lalu mengeluarkannya perlahan.
"Tidak terjadi apa-apa, Bapa. Hanya keributan biasa. Bapa tidak perlu khawatir," jawabnya kemudian.

"Bagaimana dengan dua tamu kita? Kudengar Respati sudah membaik."

"Memang sudah."

"Tantri..., kudengar dia banyak membantu. Meskipun sepertinya dia bukan gadis yang terbiasa dengan kehidupan keras dan kasar. Dampingilah dia jika ada kesulitan."

Ketika "Tantri" disebut, gemuruh perang di dada Sakanti seolah-olah ditabuh. Terlebih menurutnya sang bapa memberikan perhatian lebih kepada gadis yang dianggap saingan itu. Benaknya kesal sampai-sampai layah yang sedang dipegang diremat kuat.

"Kenapa Bapa peduli sekali kepadanya? Dia sudah bisa dikatakan dewasa dan akan menjadi lelucon jika tidak bisa bertahan hidup dengan kelompok yang memperlakukannya seperti seorang dewi," celetuk Sakanti. Sangat terkesan ketus dan Ki Ampal mampu menangkap hal itu. Maka ketika tidak ada yang disampaikan lagi, beliau membiarkan Sakanti berlalu meninggalkannya dalam keheningan.

Lelaki sepuh itu bukannya tidak tahu apa yang terjadi. Melalui dua penjaganya, beliau mendapatkan keterangan pasti mengenai perselisihan antara sang putri dan gadis pendatang bernama Tantri. Akan tetapi, dirinya merasa sia-sia karena tidak mampu melakukan apa pun. Kadangkala ia mengutuk diri dan menyesali keadaannya yang tidak berdaya. Dan ia meyakini segala hal buruk yang kini menimpa adalah bentuk karma dari perbuatannya dulu.
Maka di saat seperti inilah yang diharapkannya adalah Windu. Sekalipun mereka tidak terikat hubungan darah, Ki Ampal telah mempercayakan Wana kepadanya secara tidak langsung. Dirinya yang merawat Windu sejak bocah tentu saja paham watak dan tabiat laki-laki muda itu.
Sayangnya yang diharapkan belum kembali semenjak pergi ke permukiman untuk melakukan pertukaran barang.

Sakanti sendiri melangkah kasar lalu dengan serampangan memanggil seseorang untuk diserahi perangkat makan sang bapa. Gadis itu kemudian pergi ke arah lain dan berhenti ketika berada di sebuah medan yang cukup leluasa. Tanpa berpikir panjang lagi, ia mulai melatih diri tanpa lawan. Kadangkala kakinya menendang keras ke udara, menciptakan desing. Setiap hentakannya begitu kuat hingga tanah sekitar bergetar sejenak. Namun kemudian gadis itu memutar tubuh dengan cepat dan pada putaran terakhir kakinya dengan tepat mengenai batang pohon terdekat. Debu pada pohon itu luruh dan helai demi helai daun berjatuhan. Deru napas si gadis yang tidak beraturan itu sejatinya bukan karena olah tubuh yang dilakukan, tetapi lebih kepada benaknya yang dipenuhi amarah. Maka ketika teringat kembali akan pujian-pujian yang diterima Taramanik, Sakanti kembali melayangkan pukulan serta tendangan. Seterusnya gadis itu melakukan hal tersebut hingga lupa waktu.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang