Patangpuluh Tunggal

10 2 0
                                    

🌺🌺🌺

Kepalan tangan Windu semakin mengeras seiring keputusan Ki Ampal. Laki-laki sepuh itu sebenarnya merasakan penolakan dari Windu, tetapi apa yang dipikirkannya telah bulat.

"Rayi Sakanti tidak akan bisa menerima keputusan ini, Bapa. Saya mohon timbang kembali keputusan yang telah Bapa ambil," bujuk Windu.

"Dia tidak bisa dan tidak boleh menolak, Windu. Aku pun tidak mau mengubah-ubah apa pun yang telah kuputuskan. Sakanti harus belajar menerima." Ki Ampal menolak.

"Tetapi selama ini Rayi Sakanti telah mampu menjalani kerasnya hidup, Bapa. Ia tidak pernah mendapatkan pengasuhan dari ibunya. Bahkan Bapa tidak bisa sepenuhnya menjaganya. Ia bisa menerima semua itu. Selama ini Rayi Sakanti berusaha bertahan dengan cara dan pikirannya sendiri. Memang benar wataknya begitu keras, tetapi itu karena hasilnya berjuang. Rayi Sakanti telah berusaha hingga bisa bertahan sampai sekarang karena Bapa. Di balik keangkuhannya, dia tetaplah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang orang tua.
Jika Bapa meninggalkannya, itu sama saja dengan membunuhnya!" bela Windu.

Tiada balasan dari Ki Ampal meski perkataan Windu bisa dicap tidak sopan. Ia diam karena semua yang diungkapkan laki-laki muda itu adalah benar. Ki Ampal  menerawang atap nipah sampai setetes airmata mengalir dari sudut matanya.

Windu sendiri menyesali kelancangannya bertutur kata. Memang tidak sepantasnya ia menasehati sang sepuh yang berjasa atas hidupnya. Akan tetapi, benaknya terusik setelah mendengar keputusan Ki Ampal untuk tetap tinggal sementara serangan Weling Hireng sudah di depan mata. Hal yang langsung tebersit dalam pikirannya adalah perasaan Sakanti. Walau gadis itu terkesan keras dalam watak dan sikap, tetapi ia yang paling tahu bahwa Sakanti adalah yang paling membutuhkan bapanya.  Maka, sebisa mungkin ia akan membujuk sang sepuh untuk turut mengungsi.

"Bagaimana caraku meminta maaf, Windu? Keangkuhannya menurun dariku. Dan keangkuhan itulah yang membuatku sampai saat ini belum bisa berdamai dengan putriku sendiri. Aku yang menyebabkannya tidak memperoleh kasih sayang seorang ibu." Ki Ampal mendesah panjang. Ingatannya kembali ke masa lampau.

"Aku dulu begitu cakap dalam membantu Balawana. Kemampuan olah tubuhku cukup baik. Pengetahuanku tentang pengobatan pun begitu mumpuni sehingga kehadiranku sangat dibutuhkan. Balawana membutuhkanku dan untuk itulah mereka mengelu-elukan diriku. Perasaan bangga itu akhirnya berubah menjadi sikap jumawa. Aku merasa setiap yang menjadi Balawana patutlah menghormatiku dan aku menikmati pujian-pujian yang dilontarkan mereka. Perasaan itu pula yang membuatku begitu mudah meremehkan perasaan orang lain, terutama para perempuan." Ki Ampal menjeda ceritanya. Senyum pahitnya menyiratkan rasa sakit dan kecewa yang mendalam.
"Aku sering mempermainkan perasaan perempuan-perempuan itu, Windu. Hingga suatu hari, Prati dan keluarganya bergabung dengan Balawana. Aku pun melabuhkan hati kepadanya. Meski demikian, watakku bermain perempuan belum pudar. Dan Prati masih menerima hal itu."

Windu diam mendengarkan. Tidak bisa dipungkiri, cerita masa lalu sang bapa adalah yang menciptakan perasaan setia kepada Sakanti. Ia tidak mau gadis yang dikasihinya itu mengalami nasib pedih seperti yang ibunya derita.

"Suatu ketika, Prati memintaku keluar dari Balawana yang tentu saja aku tolak mentah-mentah. Aku tahu, saat itu Prati ingin bebas dari belenggu Balawana. Ia ingin hidup selayaknya manusia lain yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Berbaur dengan orang-orang pada umumnya. Tidak pula harus merampas harta orang lain untuk bertahan hidup. Perempuan itu selalu mendambakan untuk menjadi penggembala atau pedagang dengan keluarga kecil nan bahagia. Meski kala itu belum ada benih cinta kami yang lahir." Ki Ampal terkekeh singkat. Namun demikian, Windu melihat semakin banyak air mata yang menetes di pelupuk mata.
"Aku yang telah bersumpah setia kepada Balawana tidak mungkin pergi begitu saja. Balawana adalah bagian dari hidupku, Windu. Darinya aku hidup, dan kepadanya pula aku akan mati. Prati tentu tidak bisa memahami hal tersebut karena mulanya ia adalah orang luar."

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang