Patangpuluh Pitu

11 2 0
                                    


🌺🌺🌺


Tangan Ki Duryasa mengepal. Matanya tajam ke arah sosok yang seharusnya ia ringkus bersama anak buahnya. Tetapi alih-alih demikian, sosok itu malah dengan santai menyerahkan diri. Dan kini, ia sedang menyeruput wedang dengan wajah penuh nikmat.

"Terima kasih sudah menghidangkan wedang kapulaga untuk menyambutku, Kakang Banar. Tetapi, mungkin embanmu lupa untuk menambahkan kayu manis," ucap Pu Dapa.

Pu Banar menatap tanpa minat sosok adik di hadapannya itu, sedangkan Ki Duryasa sejatinya sudah gatal untuk membentak orang yang seharusnya menunduk malu atas segala perbuatannya tersebut.

Sungguh, kehadiran Pu Dapa di tengah kekacauan di kediaman Pu Banar pagi itu mengejutkan semua pihak. Si pelaku dengan tenang memasuki kediaman tanpa menghiraukan peringatan yang diberikan Ki Duryasa sebelumnya. Sebagai kepala keamanan desa, sepatutnya Ki Duryasa mengerahkan segala daya untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan terjadi. Pu Dapa pun kala itu langsung mengambil tempat di teras seraya memanggil nama sang kakak.

Dan demikian yang terjadi, Pu Banar berhadapan dengan adik yang telah membuat keributan pada kediamannya, menerimanya sebagai tamu meski hatinya berkecamuk.

"Pu, kami telah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Cecunguk yang diutus Ki Tejalingga telah mengakui semuanya sehingga tidak ada lagi yang bisa kaukatakan untuk mengelak segala tuduhan." Ki Duryasa akhirnya membuka suara. Hatinya sudah gemas dengan tingkah laku Pu Dapa yang seolah-olah tidak memiliki beban itu.

Dituding demikian, Pu Dapa hanya melirik remeh ke arah Ki Duryasa seraya memainkan jenggot.

"Memang untuk itulah aku ke sini, untuk menyerahkan diri. Seharusnya kalian berterima kasih kepadaku untuk itu sehingga tidak perlu bersusah payah membuang tenaga," ujarnya.

Ki Duryasa sontak memukul keris yang dipegangnya ke lantai kayu. Hatinya merasa tidak terima dengan pernyataan Pu Dapa yang seakan-akan meremehkannya.

"Apakah maksudmu, Pu? Apa tujuanmu sebenarnya menyerahkan diri seperti ini? Rencana busuk apalagi yang akan kau lakukan untuk menghancurkan keluarga kakangmu sendiri? Sungguh menjijikkan segala kelakuanmu itu!" hina Ki Duryasa.

Namun demikian, Pu Dapa hanya tertawa ringan.
"He, olah tubuhku memang cukup mumpuni, tetapi apabila kalian mengeroyokku, tentulah aku akan kalah. Aku sudah begitu tua untuk melawanmu dan anak buahmu yang masih segar bugar itu. Berpikirlah sedikit, Duryasa!"

Ki Duryasa merasa terhina dengan ucapan Pu Dapa tersebut. Terlebih ia mengatakannya di depan anak buahnya dan dikelilingi orang banyak. Harga dirinya dirasa diinjak-injak.
Maka, dikeluarkannya kerisnya seraya menantang adik Pu Banar tersebut.
"He, Pu Dapa, marilah bertanding satu lawan satu!"

Di saat itulah, Pu Banar memberikan isyarat kepada sang kepala keamanan untuk meredam amarahnya.

"Apa alasanmu menyerahkan diri, Yayi?" tanya Pu Banar usai melihat Ki Duryasa menyarungkan kembali kerisnya.

"Aku tidak menyerahkan diri. Aku datang ke sini sebagai adik yang ingin berbicara dengan kakangnya," jawab Pu Dapa dengan tegas.

Yang demikian membuat Pu Banar berdesir hatinya.

"Akulah yang telah menyerangmu semalam. Dan seharusnya aku bisa melenyapkanmu andai saja Duryasa tidak datang," ungkap Pu Dapa. "Aku pula yang membantu Tejalingga agar bisa mengawini Taramanik. Dan seharusnya dalam perjalanan menuju Gunung Pawitra, anak buahnya berhasil menculik putrimu dan membunuh Pulungwangi."

Meski telah mengetahui kebenarannya, tetapi benak Pu Banar tetap merasakan kecewa yang mendalam manakala sang adik mengungkapkan segala rencana kejinya tersebut. Apa yang diungkapkan adiknya itu sungguh di luar prasangkanya selama ini. Tangannya sampai mengepal kuat-kuat, tanda sang mpu berusaha menahan amarahnya.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang