Pinutus

28 5 0
                                    

🌺🌺🌺

Taramanik enggan berpaling dari hamparan sawah di depan mata. Jalan setapak yang dilalui pun sedang senggang sehingga menambah suasana yang memikat. Kuda yang mereka tunggangi bersama diatur agar berjalan dengan pelan sehingga pasangan yang telah resmi menjadi suami-istri itu bisa menikmati keindahan Sokaratu di pagi hari.

Respati yang kini lebih dikenal sebagai Suratmaja kemudian mengarahkan si kuda agar berhenti pada salah satu medan. Dari sana, mereka bisa melihat gunung yang berderet-deret dengan lembah hijau di bawahnya. Gunung yang sebagiannya masih tertutup kabut itu terlihat jelas meski jaraknya begitu jauh.

"Kau lihat gunung yang paling kecil itu?" tanya Respati. Taramanik pun mengangguk. Ia kini tidak lagi bersandar di dada bidang sang suami agar bisa melihat gunung yang dimaksud dengan jelas.

"Gunung Pawitra?" tebaknya yang memanglah benar adanya.

"Cobalah menyisir bagian timurnya. Dahulu kita pernah berada di antara lembah-lembah itu," ujar Suratmaja.

Bibir Taramanik merekah. Ia teringat akan kenangannya bersama sang suami kala itu.
"Bagaimana Nyimas Sakanti saat ini? Aku merindukan mereka," tanggapnya.

"Mereka pasti baik-baik saja. Bukankah Kakang Larung dan Kakang Wirya tidak melanjutkan tugasnya?"

Taramanik mengangguk.
"Tugas untuk Balawana telah selesai. Kudengar kini mereka mengemban tugas lain."

Kicau burung kutilang menyemarakkan suasana sementara kawanan capung menari-nari di atas kali. Taramanik masih mengagumi gagahnya deretan gunung-gunung hingga sesuatu terlintas di pikirannya.

"Kakang, ceritakanlah kembali pertemuan pertama kita."

Suratmaja terkekeh singkat.
"Bukankah sudah pernah aku ceritakan? Tidak ada hal yang aku lewatkan, Rayi."

"Tetapi, aku ingin mendengarnya lagi. Kau tahu mengapa anak-anak begitu menyukai kisah-kisah yang aku ceritakan kepada mereka, itu karena kisah itu sangat menarik. Aku pun ingin mendengarnya lagi karena alasan yang sama."

Melihat sang istri yang kukuh meminta, Suratmaja pun tidak bisa lagi menolak. Maka, ia terdiam sejenak guna merangkai kata-kata untuk mengisahkan kembali sebuah pertemuan yang membuatnya jatuh hati kepada seorang gadis.

"Saat itu jatuh pada sasi Caitra, waktu yang membuat Astawulan ramai akan kehadiran pemangku jabatan. Semua Bhre dan pemangku jabatan akan datang ke sana untuk menghaturkan sembah bakti berupa upeti kepada Sri Rajasanagara."

*Astawulan di bulan Caitra*
[*Trowulan, ibukota Majapahit]

Jalan di sekitar kotaraja pada waktu itu sangat ramai. Berderet-deret para penguasa wilayahnya masing-masing untuk memasuki kedaton. Kereta-kereta kencana yang indah memenuhi lapangan, diiringi para penjaga bersenjatakan tombak, tameng, dan keris. Sementara itu, para penguasa berkumpul di balairung, menunggu gilirannya dipanggil untuk mengaturkan sembah bakti kepada sang junjungan Sri Rajasanagara sebagai bukti bahwa mereka masih bernaung di bawah kuasa Wilwatikta.

Bagi pemangku jabatan yang belum dipanggil, mereka akan ditempatkan pada graha khusus untuk menginap selama beberapa waktu sembari menunggu upeti-upeti yang terlampau banyak itu dihitung.

Kala itu, Ki Demang Sokaratu sengaja ditunjuk oleh Bhre Pajang untuk turut serta menemani. Penunjukkan itu pun sebenarnya bukan tanpa alasan karena dua putri Ki Demang saat itu sedang berada di pasraman putri Astawulan. Sehingga Ki Demang pun menyambut dengan sukacita sebab dengan demikian ia bisa menjenguk putri-putrinya yang telah ditunjuk sebagai calon dayang sang permaisuri.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang