Sanga

19 5 0
                                    

🌺🌺🌺

Waktu pagi di kediaman Pu Banar tidak berlalu seperti biasa. Besalen yang seharusnya ramai akan suara-suara pukulan besi kini sunyi. Kediamannya pun tampak sepi dari kegiatan para pekerja. Pu Banar rupanya mengistirahatkan semua anak buah dan pekerjaan lain. Hal itu dilakukan setelah kemarin pria sepuh itu mendapati keadaan adik dan putranya yang dalam keadaan tidak baik saat kembali ke Pucang. Pu Banar benar-benar tidak menyangka akan apa yang terjadi saat itu.

Pulungwangi membawa Pu Dapa dengan keadaan terluka. Rasa kaget bercampur sedih hampir saja membuatnya tumbang. Terlebih, hanya dua orang yang kembali. Benaknya menahan kekhawatiran besar kala ia belum bisa mendapatkan keterangan jelas mengenai keberadaan sang putri.

Menurut penjelasan Pulungwangi, mereka diserang bramacorah ketika akan mengunjungi kediaman sahabat sang paman dan terpaksa berpencar karena keadaan yang makin kacau. Pu Banar sendiri tidak bisa menyalahkan adiknya yang tampak sangat menyesal karena tidak bisa menjaga keponakannya.

Sang juru gusali menghela napas panjang. Mata sepuhnya menatap besalen yang tertutup rapat pintu-pintunya. Ketika itu, sapaan seseorang membuatnya mengalihkan pandangan. Terlihatlah olehnya Wangun yang segera mengambil tempat duduk di dekatnya. Sahabatnya itu kemudian bertanya, "Bagaimana keadaan Yayi?"

Belum ada jawaban dari yang ditanya selama beberapa kedipan mata. Hingga Pu Banar berkata, "Seharusnya Kakang menanyakan itu kepada Pulungwangi atau Dapa."

Wangun tersenyum samar. Ia mengangguk-angguk.

"Pulungwangi sudah melakukan keputusan terbaik dengan meminta pertolongan terlebih dahulu dari desa terdekat. Beruntung ia hanya mengalami luka ringan. Sementara Dapa, lusa ia akan mampu kemari. Kau juga perlu diperhatikan, Yayi. Jika kau jatuh sakit lagi, apa mungkin bisa mencari Taramanik? Bagaimana pula dengan Hyuning yang mengandalkan Yayi?"

Mendengarnya, membuat Pu Banar mendesah. Ia membenarkan ucapan Wangun tersebut, tetapi juga tidak kuasa menahan cemas di hati. Wangun pun sedikit memahami apa yang dirasakan kawannya tersebut. Sekalipun putri-putrinya telah berada dalam perlindungan suami-suami mereka, tetapi rasa khawatir orang tua akan selalu ada.

"Andai aku tidak membiarkannya, Kakang...," sesal Pu Banar.

Wangun menepuk pelan bahu Pu Banar. "Tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, Yayi. Yang terpenting sekarang, bagaimana kita menemukan Taramanik secepatnya," tutur Wangun. Pria sepuh itu hendak berkata lagi, tetapi ringkik kuda yang terdengar dari pelataran menyita perhatiannya. Lantas, ia pun bangkit dari duduknya dan menghampiri si sumber suara diikuti Pu Banar.

Setibanya mereka di sana, terkejutlah Wangun dengan siapa yang datang. Dua laki-laki gagah baru saja turun dari tunggangan mereka lalu menuntunnya menuju halaman. Ketika salah seorang dari mereka bertatapan dengan Wangun, segera saja ia menyapa, "Rahayu, Uwa."

Belum selesai ia menuntaskan kalimatnya, sosok Pu Banar yang menyusul membuat air muka pemuda itu berubah. Senyum tipisnya menjadi kaku, lalu dengan suara yang terkesan ragu, ia menyapa Pu Banar.

"Saya pulang, Bapa."

🌺🌺🌺

Entah apa yang seharusnya Hyuning rasakan saat ini. Ketika dirinya bersedih sebab sang putri menghilang, tiba-tiba saja putra sulung yang telah lama dirindukan kembali ke tanah kelahiran. Di hadapannya kini pemuda itu bersila. Tampak berbagai perubahan, hasil dari merantau. Badannya lebih gagah dari terakhir Hyuning perhatikan, kulitnya yang sawo matang kini sewarna jati dari yang ia ingat. Tetapi, mata itu masih sama. Mata tajam yang menjadi penanda bagi Hyuning bahwa putra sulungnya adalah yang teristimewa baginya.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang