Telungpuluh Nem

21 3 0
                                    

🌺🌺🌺

Kediaman Pu Banar pagi itu mendadak ramai. Para warga berdatangan, tetapi sebagian besar dari mereka hanya bisa melongok dari balik pagar kayu setinggi perut karena penjagaan ketat dari pihak keamanan desa. Sementara itu, beberapa sesepuh dan pejabat desa telah mengelilingi dua laki-laki yang kini terduduk lemah dalam keadaan terikat. Seonggok mayat yang telah ditutupi daun pisang berada di dekat mereka. Salah satu dari laki-laki itu terlihat tersenyum-senyum sendiri, sedangkan yang satunya menunduk saja.

"He, sekarang jawablah, apakah benar Ki Tejalingga yang menyuruhmu untuk menyerang Pu Banar?" tanya salah seorang pejabat desa, tetapi yang ditanya hanya menatap seraya mengumbar senyum.

"Rasanya percuma saja, Ki. Dia tidak akan mengaku." Ki Duryasa menyahut.

"Bukankah kita bisa membawa mereka ke hadapan Bhre Dhaha kemudian menuntut Ki Tejalingga? Daripada menunggu dua begundal ini membuka mulut." Pejabat yang lain menyarankan.

"Tentu saja bisa, Ki Duryasa yang berwenang melakukannya, tetapi itu berarti kita harus bersiap untuk menyulut perselisihan lain. Ki Tejalingga bukanlah orang yang akan percaya saja apabila kita membawa anak buahnya yang mabuk sebagai bukti penyerangan. Apalagi dia mempunyai hubungan dengan beberapa pejabat kedaton. Dia mungkin akan menyiapkan sesuatu yang nantinya bisa memperkeruh keadaan. Lebih baik kita tunggu sampai dia benar-benar sadar dari mabuknya." Seorang laki-laki sepuh lainnya akhirnya membuka suara.

"Tetapi, dia bahkan sudah menghabiskan tiga buah air kelapa untuk menyegarkan pikirannya itu, Ki. Sikapnya ini tentu hanya dibuat-buat agar menyulitkan penyelidikan."

Segenap yang di sana akhirnya terdiam setelah pernyataan salah satu pejabat desa tersebut. Tampak wajah-wajah mereka menahan kesal. Sebagian bahkan sudah mengumpat karena merasa terhina telah menghadiri perayaan Ki Tejalingga yang notabene menjadi dalang penyerangan tersebut. Di saat itulah, Pu Banar baru menampakkan diri. Kemunculannya disambut tatapan penuh harap dari sesepuh dan pejabat desa. Mereka tentunya ingin sang mpu membantu membuat keputusan.

Ditemani salah satu panjak, Pu mendekati kumpulan orang-orang yang sudah menunggunya tersebut. Beliau menatap sekilas kepada si laki-laki yang sedang diikat kemudian mengalihkan perhatian kepada segenap yang telah menunggu.

"Pu, apa yang harus kita lakukan dengan begundal ini? Mereka sama sekali keras kepala, tidak mau membuka mulut," keluh Ki Duryasa.

Alih-alih membalas, Pu Banar malah mengajak sesepuh dan pejabat desa berpindah tempat. Dan graha depan adalah yang dipilih sang mpu untuk berkumpul. Setelahnya, sebelum mereka-mereka yang diajak mengutarakan keheranan, Pu Banar menyodorkan beberapa lembar pudak kepada Ki Duryasa. Tentu saja kepala keamanan itu menerima meski pikirnya bertanya-tanya.

"Itu adalah 'serat' dari istri tertua Ki Tejalingga, ditujukan kepada menantuku, Sukanya." Sang juru gusali berujar.

"Apakah maksudnya ini, Pu?" tanya Ki Duryasa.

"Sukanya, menantuku, yang baru saja siuman pagi ini membeberkan sebuah kenyataan. Bahwa tanpa sepengetahuan Hyuning maupun diriku, dia melakukan hubungan dengan istri Ki Tejalingga. Dari sana, istri Ki Tejalingga itu menuturkan segala persekongkolan suaminya dengan adikku, Dapa," jelas Pu Banar.

Ki Duryasa dan segenap lainnya sedikit terkejut atas pengakuan sang mpu. Baru saja mereka mengetahui bahwa bungsu Pu Banar menghilang kini kembali disuguhkan kenyataan lain.
Mereka tentu saja masih belum paham akan persengkongkolan yang dimaksud sang mpu, meski pikiran mereka cenderung condong kepada satu kesimpulan.

"Jadi..., apakah ini artinya Ki Tejalingga dan Pu Dapa menjalin kerjasama? Ah, ampun Pu jika saya sedikit lamban dalam memahami keadaan saat ini," ucap Ki Duryasa dengan nada segan.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang