🌺🌺🌺
Sukanya merapatkan bibir. Berkali-kali ia menoleh ke belakang, kepada Rum yang menatapnya gelisah, kemudian kembali memperlihatkan raut wajah khawatir terhadap tangannya yang kini digenggam Nyi Rambi.Mereka makin menjauhi lapak pedagang di pekan itu, menjauh pula dari Rum dan emban Rambi yang pergi setelah majikannya memberikan perintah.
"Pelan-pelan, Nyi," ujarnya seraya memegangi perut yang besar. Ini merupakan langkah terbanyak yang ia lakukan di pagi hari setelah hamil tua. Kakinya sudah membengkak sekitar empat belas hari dan kini harus menempuh jarak yang ia sendiri tidak tahu akan ke mana.
"Ah, ini sudah sangat pelan. Tetapi jika kau memintaku untuk memperlambat langkah lagi, bisa-bisa waktu kita akan habis," balas Rambi.
"Waktu untuk apa, Nyi? Sebenarnya akan ke manakah kita? Dan apa maksud Nyi sebenarnya?" tanya Sukanya ke sekian kali.
"Aku akan menjawabnya, tetapi kita harus menjauh dahulu."
"Tetapi kenapa harus menjauh, Nyi?"
Rambi berdecak.
"Pokoknya kita harus menjauh dahulu, barulah kau akan tahu jawabannya."Demikianlah jawaban Rambi sehingga yang bisa dilakukan Sukanya hanyalah menurut. Istri Pulungwangi itu sebenarnya masih sanggup mengelakkan genggaman Rambi, tetapi ia sendiri mencemaskan keadaan jabang bayinya. Ditambah lagi, tubuhnya mungkin belum bisa segesit dulu dan ia pun tidak membawa apa pun untuk dijadikan senjata sebagai perlindungan andaikata Rambi melakukan hal di luar dugaan. Maka, Sukanya hanya bisa berharap bahwa sikap Rambi saat ini tidak akan untuk membahayakannya.
Barulah ketika dua perempuan itu sampai di jalan lengang yang jauh dari kumpulan pedagang, langkah mereka berhenti.
Rambi melongok ke arah belakang Sukanya lalu menoleh pula ia ke kanan dan kiri seolah-olah mengamati sekitar, meyakinkan diri bahwa keadaan sekelilingnya tiada orang selain mereka berdua.
"Aku rasa sudah aman. Nah, sekarang akan kusampaikan pesan dari Nyi Anampi untukmu," kata Rambi.
Sementara itu, Sakanti semakin heran dibuatnya.
"Pesan apa, Nyi? Apakah urusan Nyi Anampi denganku?"Rambi tampak mengabaikan pertanyaan Sukanya. Ia kemudian membelakangi lawan bicaranya lalu membuka lipatan kain yang membelit pinggang dan perut. Dari sana, sebuah benda dikeluarkan, yakni tiga lembar pudak yang terlipat-lipat di beberapa bagian.
"Terimalah!" ujar Rambi.
Awalnya Sukanya sangat ragu terhadap bunga pandan yang disodorkan tersebut, tetapi Rambi yang tidak sabaran segera menarik tangannya dan memaksa istri Pulungwangi itu untuk menerima.
"Bawa dan bacalah ketika kau sudah sampai di rumah. Dan ingat...!" Kali ini wajah Rambi menyiratkan kesungguhan. "Hanya kau yang boleh membaca apa yang tertulis pada pudak itu. Setelahnya, terserah kau untuk menyimpan atau membuangnya."
Sukanya baru akan mengucapkan satu dua patah kata, ketika Rambi lebih dulu menyela,
"Heh, tunggu! Kau bisa membaca, bukan?"Mengangguk saja Sukanya untuk menjawab pertanyaan Rambi tersebut.
"Oh, tentu saja. Nyi Anampi bilang, kau putri bekas prajurit. Pastilah kau pernah diajari aksara. Jika demikian, tugasku sudah selesai. Sekarang cepat-cepatlah kau kembali dan bersikaplah seolah kita tidak melakukan atau membicarakan apa-apa. Kau paham, Sukanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembang Kinasih (SELESAI)
Historical FictionJodoh Taramanik sebagai putri seorang juru gusali telah diatur sedemikian rupa oleh sang orang tua. Namun bagaimana jadinya apabila dara jelita itu malah jatuh hati ke yang lain? Seiring rasa yang terus tumbuh, Taramanik menyadari itu adalah sebuah...