Sunya

152 13 9
                                    


*Sunya: 0 (bilangan nol dalam bahasa Sansekerta) disebut juga sebagai tempatnya jiwa-jiwa.
*Gelung cacandyan: gelung mengerucut di ubun-ubun pada laki-laki
*Asrep: sejuk
*Smara: asmara, cinta
*Dahana: api, membara

.
.

Laki-laki itu, yang bergeming di tempat, bertelut di sisi kanan sang maharaja. Kepalanya tercatuk menatap tanah tanpa alas dengan wajah serius tetapi menyiratkan ketenangan. Ia tidak bermahkota, tetapi terdapat semacam gelang dari emas yang menghiasi gelung cacandyannya, juga terdapat kelat bahu yang melingkari lengan, pertanda ia bukan dari kaum sudra. Pakaiannya sederhana, yakni lilitan kain yang sebagian disampirkan ke bahu. Akan tetapi, tiada yang meragukan betapa baiknya bahan tersebut.

Tidak jauh dari laki-laki yang memasuki usia enam puluhan itu, tampak satu laki-laki yang lebih muda, berpenampilan serupa tanpa kelat bahu serta tanpa hiasan di cacandyan. Laki-laki yang muda itu bersimpuh dengan kedua tangan membawa nampan berisi tumpukan lontar yang telah tersusun rapi. Kiranya ia adalah seorang murid atau pelayan kepercayaan.

Sementara itu, sang maharaja yang masih bertahta di Kadiri, duduk di atas batu palenggahan. Badannya tegak menghadap ke timur. Air mukanya damai seperti pemandangan asrep taman sari yang kini beliau singgahi. Bayu pagi dengan matahari yang meredup menari-nari dengan rikma terurainya. Walau demikian, tetap saja seorang abdi memayungi beliau.

Dua dayang bersimpuh di belakang sang maharaja, salah satunya membawa wadah air minum berwarna kuning yang mengilap. Agaknya hanya itu manusia-manusia yang hadir di taman sari. Sang maharaja memang tidak sedang menggelar pertemuan dengan para pembesar. Beliau ingin menagih janji kepada seseorang yang saat ini sedang menanti sebuah kalimat diucapkan.

Sang maharaja menghela napas dalam-dalam. Bibirnya menyunggingkan senyum setelah sekian lama terdiam.

"Engkau tahu tujuanku memanggilmu kemari, Pu Darmaja?" ucapnya pertama kali. Suaranya halus, tetapi dalam dan tegas, menimbulkan getaran-getaran pada benak masing-masing laki-laki di hadapannya.

Sembah bakti kemudian diberikan oleh laki-laki yang sedari tadi menunggu sabda.
"Ampun, Śri Maharaja, hamba telah mengetahuinya," jawabnya hormat.

Sang maharaja semakin lebar senyumnya. Kemudian, ia berkata kembali,
"Enam purnama lalu, aku mengutusmu mempersembahkan sesuatu untukku. Sebuah kisah yang kiranya mampu mengabadikan rasa cinta tanpa aniaya. Kisah-kisah pengorbanan yang tulus dan mendalam. Juga kisah yang menggambarkan tentang penciptaan. Aku ingin anak keturunanku, cucuku, dan segenap keluarga kerajaan memahami bagaimana bentuk rasa kasih yang sebenarnya. Agar bisa mereka gunakan untuk memimpin nagara dengan landasan cinta damai.  Jadi, apakah engkau sudah melakukannya?"

Setelah suara penuh wibawa tersebut terdiam, Pu Darmaja kembali menjura.
"Ampun, Śri Maharaja, hamba telah merampungkan tugas yang Śri Maharaja berikan kepada hamba. Telah hamba rangkum segala pengetahuan sesuai keinginan Śri Maharaja dalam satu susastra," tuturnya.

Sang maharaja mengangguk-angguk. Ada sebuncah rasa puas dan penasaran yang datang bersamaan. Lalu, ia perintahkan si laki-laki yang seorang kawya itu untuk segera membeberkan hasil kerjanya.

Pu Darmaja beranjak. Ia berikan isyarat kepada si laki-laki muda untuk mendekat guna menyerahkan kitab yang telah disusunnya sesuai permintaan sang junjungan. Laki-laki muda itu pun bergerak maju dengan menggunakan kedua lutut, sedangkan pandangannya tetap ditujukan ke alas bumi. Tidak berani ia sekadar melirik sang maharaja yang menunggu.

Kemudian, tibalah saatnya sang kawya itu untuk membacakan puja sastranya. Suaranya yang berat dan tegas, memenuhi seluk beluk taman asri yang hening nan damai.

Ung rudrāya mahātmane pranataning bhakting jagat karāna.
Warsān ungguha donikin marěk i jöng sang hyang harěp sanmatan.
Sang tunggal winuwus rwa lot ginananāning panditārjāhayu.
Brāhmā wișņu maheçwarānupaman ing nāpi kitāwak tiga. [Kakawin Smaradahana, Wirama Sārdūlawikridita: X. 1]

Śrī manmathāwuwuh ikāng madarāga ring twas,
Yan ton manisni muka sang kusumāstra putri,
Pañcéndryāmisaya marmma tekéng swa citta,
Na hétuning marek angol manukup sakahyun? [Kakawin Smaradahana, Wirama Basantatilaka: IV. 3]

Tepukan singkat tetapi keras itu terdengar bersamaan dengan tawa sang maharaja. Dengan demikian, Pu Darmaja menghentikan kegiatannya membacakan hasil karya. Ia mengaturkan sembah bakti setelah menutup lontar-lontar yang sebenarnya belum selesai dilantunkan tersebut.

"Luar biasa, sungguh luar biasa! Engkau bisa menangkap apa yang kumaksud ketika mewedar ilmu. Engkau berhasil memaparkan makna kasih dari kehidupan dalam untaian kata-kata yang indah. Aku menyukai bagaimana engkau menuturkan rasa syukur kepada dewa-dewa. Aku juga tersentuh dengan kisah Sang Hyang Smara yang kautulis. Aku menyukainya. Itu sangat indah. Indah sekali."

Mendapati pujian yang menggebu, Pu Darmaja urung menurunkan kedua tangannya. Tetap menjura ia sebagai bentuk penghormatan. Patutlah ia mendapatkan sanjungan tersebut. Enam purnama lamanya ia menyepi di sebuah tempat di puncak Gunung Pawitra semenjak titah sang maharaja diturunkan. Selama itu pula dirinya melakukan tapa hingga terciptalah sebuah susastra yang kini akan dipersembahkan.

"Suatu keberuntungan jika hamba mampu membuat Śri Maharaja bahagia dengan karya hamba. Semua ini tidak lain adalah karena Śri Maharaja sendiri." Pu Darmaja membalas.

Sang maharaja masih tertawa-tawa bangga. Wajahnya seolah-olah turut bersinar. Beliau pun berujar,
"Aku menjadi tidak sabar untuk mendengarkan seluruh isinya. Tetapi, sebelum kita melanjutkannya, sudahkah engkau memberikan sebutan untuk susastra itu?"

Kali ini, Pu Darmaja menyelesaikan tanda baktinya. Ia yang tidak berani bertatapan langsung dengan sang junjungan hanya mampu melihat ujung jemari kaki beliau yang bersih tanpa cacat.

"Hamba memberinya nama, Smaradahana, Śri Maharaja. Itu bermakna, cinta yang membara," jawabnya.

Helaan napas sang maharaja terkesan melegakan. Beberapa kali bibirnya menggumamkan nama baru untuk susastra karya Pu Darmaja tersebut.

"Smaradahana. Ya, itu nama yang bagus, sesuai dengan isinya. Aku ingin anak-cucuku bisa belajar sesuatu dari kitab itu nantinya. Agar tetap terkenang hingga ratusan bahkan ribuan warsa mendatang.
Aku ingin engkau yang mengajarkan kepada mereka kelak. Akan kuberikan kewenangan untukmu beserta murid-murid kepercayaanmu untuk mewujudkan hal itu."

Diberikan titah demikian, Pu Darmaja beserta si laki-laki muda segera bersujud.

"Segala keagungan adalah milik Śri Maharaja Śri Kameswara Triwikramawatara Aniwaryawirya Prakrama Digjayottungadewanama. Akan hamba laksanakan titah Śri Maharaja dengan sebaik-baiknya."

Demikian persembahan Pu Darmaja kepada sang maharaja. Maka setelah itu, susastra Smaradahana benar-benar digaungkan ke seluruh kedaton. Ajaran-ajaran di dalamnya begitu menghanyutkan jiwa. Bahkan, satu dari sekian kisahnya menjadi cerita asmara yang mengharu biru, hingga ratusan warsa mendatang.
.
.
Terjemahan Kakawin:

Ya Paduka Sang Hyang Rudra sebagai raganya Maha Ātma yang hamba sembah, Bhațara yang menciptakan dunia ini
Supaya sudi kiranya Bhațara merestui tujuan hamba menghadap Paduka Bhațara hanya memohon anugerah
Paduka Bhațara mempunyai raga tunggal dikatakan selalu dipelajari oleh sang pendera untuk mencapai keselamatan
Paduka Bhațara juga sebagai Wișnu Brāhma Mahéswari tiada tertandingi
Paduka Bhațara mempunyai raga jumlahnya tiga. [Sudirawan, 2017: 45]

Sang Hyang Smara merasa bertambah rasa kasih dan cinta beliau bergejolak dalam pikiran
Baru menatap wajah Dewi Ratih begitu mempesona
Pañca Indriya menyusup dalam pikiran beliau
Itu yang menyebabkan terbelah dimasuki pada tempat yang begitu rahasia oleh tangan beliau. [Sudirawan, 2017: 20]

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang