Wwalulikur

12 2 0
                                    


🌺🌺🌺

Awan-awan gelap yang tipis perlahan bergerak melewati candra. Sepi di langit, tetapi hiruk-pikuk masih terdengar meski samar-samar di bawah sana. Salah seorang kawan Windu mengamati keadaan remang-remang di luar dari jendela. Dari jendela yang berkisi-kisi kayu itu pula ia masih bisa melihat damar dari kedai di sebelah. Ia pun yakin kedai yang lain masih ramai pengunjung dan waktu malam sepertinya adalah waktu yang paling digemari karena suara-suara itu tak kunjung hening. Setelah puas mengamati rembulan, ia kemudian duduk dekat Windu yang bersila di atas dipan. Mata laki-laki muda itu tertutup, tetapi keningnya berkerut dalam, tanda sedang berpikir keras.

Tidak lama kemudian, salah seorang kawan mereka memasuki bilik. Sebuah buntalan daun pisang diletakkan di meja dekat pintu.
Mata Windu seketika terbuka begitu sang kawan yang sedari tadi ditunggu telah kembali.

"Laki-laki yang tua masih di depan, tetapi yang satunya tidak ada. Kata penjaga kedai, ia melihat pemuda itu pergi setelah memberikan sekeranjang umbi-umbian. Hanya itu saja yang kudapat," katanya kemudian membuka buntalan yang dibawanya tadi. Rupanya isinya adalah umbi-umbian rebus, masih terlihat asap tipisnya yang menari-nari.

"Bukankah mereka mencoba menyuap penjaga kedai untuk memantau kita?"

"Dengan umbi?"

"Sekeranjang umbi yang bisa memberikan mereka keuntungan. Tentu saja aku akan menerima jika menjadi penjaga kedai itu."

"Dasar rakus!"

Perdebatan dua kawannya diabaikan Windu. Saat ini, laki-laki muda itu sedang mencari jalan keluar, terlebih satu dari dua orang yang membuntutinya pergi dan hal itu malah menambah kemungkinan-kemungkinan. Di saat itu Windu kemudian mengalihkan perhatian ke arah jendela. Bisa saja mereka melarikan diri lewat sana, tetapi pastinya menimbulkan keributan. Dan hal itu malah akan menarik perhatian. Namun, mereka tidak boleh berlama-lama pula karena Wana berada dalam tanggung jawabnya.

"Jadi saat ini ia sendirian?" tanya Windu kepada kawannya yang kini melahap salah satu umbi dan pertanyaannya dijawab anggukan mantap. Segera setelahnya kawannya itu meneguk air di kendi agar makanan yang ditelannya tidak menyumbat tenggorokan.

"Benar, Kakang. Penjaga kedai itu bilang, kawannya yang satu pergi setelah matahari benar-benar terbenam," jelasnya.

"Jika demikian, ini kesempatan kita untuk pergi pula dari sini. Kita keluar secara terpisah sehingga laki-laki itu akan bimbang untuk membuntuti siapa." Windu memutuskan.

Dan tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka untuk meninggalkan bilik. Dimulai dari dua kawan Windu kemudian Windu sendiri. Masing-masing keluar dari graha peristirahatan dan menuju ke arah berseberangan. Hal itu pun tidak luput dari pengamatan Wangun karena ia tidak berusaha menyembunyikan diri. Awalnya kawan Pu Banar itu bimbang ketika yang diikuti memilih membagi kelompok. Terlebih Pulungwangi belum kembali. Pemuda itu memang diutusnya memberitakan perihal Windu kepada sang kakak.

Maka di saat terdesak, ia pun keluar dari graha peristirahatan itu pula dan mengikuti satu dari dua kelompok yang menyebar.

Windu adalah sosok yang Wangun ikuti. Bukan tanpa sebab, laki-laki muda itulah yang menjawab semua pertanyaannya. Sehingga Wangun pun menyimpulkan bahwa ialah yang memimpin.

Sedangkan di pihak Windu sendiri merasa langkah yang diambil penguntitnya terhitung berani lantaran tidak berusaha menyamarkan diri. Hal itu membuatnya semakin resah karena tindakan yang demikian mengisyaratkan bahwa si penguntit menghendaki pembicaraan. Dan tentu saja Windu tidak bersedia.

Pekan akhirnya terlewati setelah menempuh sekian langkah, tetapi masih terlihat segelintir orang hilir mudik. Barulah ketika mencapai batas padukuhan, jalanan telah lengang sepenuhnya. Cahaya sasi di atas sana sedikit membantu indra penglihatan meski gelap gulita merajai sekitar.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang