🌺🌺🌺
.Pedang Taramanik berputar cepat, bergerak mengitari tubuh si gadis bagaikan ular meliuk-liuk. Kemudian dengan kecepatan yang sama, ujung pedang itu terjulur ke arah lawan, tepat di dada.
Mata indah Taramanik sedikit terbelalak kala menyadari bahwa pemuda yang menjadi lawannya berhasil menahan ujung pedang dengan seranting kayu. Belum sempat rasa kagumnya habis, serangan balik mendadak dilancarkan si lawan. Taramanik kembali dibuat terkejut manakala sentakan keras diterimanya, mengakibatkan keseimbangan tangannya goyah dan pedang yang dipegang terlempar begitu saja. Gadis itu juga harus menerima beberapa pukulan dari ranting kayu di lengan sebab berusaha menahan serangan.
Taramanik meringis sebab sengatan ranting itu yang terasa panas. Ia kemudian melompat ke belakang kemudian mengapit ranting itu dengan kedua kakinya. Sayangnya itu adalah pilihan yang salah, karena lawannya seolah-olah sudah mengetahui rencananya. Sehingga yang diterima bungsu Pu Banar adalah pukulan ke sekian di kaki, menyebabkannya mengerang kecil sebelum akhirnya menggulingkan diri guna menjauh dari serangan berikut.
"Apakah kali ini Nyimas bersedia menerima kekalahan yang ke sekian?" tanya si lawan.
Taramanik mendongak menatap lawan dengan dada naik-turun, bukan karena amarah tetapi tenaganya benar-benar dikuras habis. Gadis itu kemudian melirik ranting kayu rapuh yang kini bertengger pongah di pundaknya sebagai tanda kemenangan. Akan tetapi, mau menolak pun Taramanik harus mengakui bahwa lawannya itu sungguh-sungguh mumpuni. Ia pun mengangguk mantap.
"Ya, Kakang Windu. Aku mengakui kekalahanku kali ini," ujarnya pasrah.
Windu yang mendengarnya pun mengangguk singkat sebelum mengangkat ranting kayunya dari pundak si gadis. Pemuda itu membiarkan Taramanik mengatur napas, membebaskan hawa panas di tubuh. Setelahnya ia hanya mengamati gadis itu memungut pedang yang sempat terlempar tadi.
"Nyimas tidak apa-apa? Maaf jika saya keterlaluan dalam latihan tadi," kata Windu ketika Taramanik menghampirinya.
"Tidak. Aku terbiasa melakukan latihan seperti tadi bersama dua kakangku. Mereka juga sama-sama kerasnya dalam pendadaran ilmu. Terkadang aku harus menerima amukan ibu jika beliau melihat tanganku membiru terkena sabetan kayu. Atau, jika kakiku tiba-tiba membengkak karena terlalu keras saat berlatih," tutur Taramanik.
"Kakang Nyimas pastilah mengharapkan Nyimas akan menjadi perempuan tangguh." Windu menanggapi.
Akan tetapi, Taramanik hanya tersenyum mendengarnya. Ia tidak pernah memikirkan hal yang disebutkan Windu sebelumnya. Karena pada kenyataannya, keinginannya untuk melatih olah tubuh mulanya adalah sekadar mengikuti dua kakaknya.
"Ya, aku juga tidak akan menyangka kalau ilmu yang diwedar kepadaku akan menjadi penyelamat. Sebenarnya aku melatih diri agar tidak terlalu tergantung kepada mereka. Terlebih ibu dulu sering menakut-nakuti tentang adanya raksasi atau gandarwa yang memangsa anak-anak perempuan. Untuk itulah aku merasa perlu menunjukkan bahwa aku juga bisa melindungi diri sendiri," ungkap Taramanik.
"Itu adalah tindakan yang tepat." Usai berkata demikian, Windu mengamati surya yang mulai condong ke barat. "Sepertinya kita harus kembali ke permukiman, Nyimas."
Taramanik yang mengetahui hari beranjak sore pun mengiyakan ajakan Windu tersebut.
"Terima kasih telah menemaniku berlatih hari ini, Kakang. Rasanya badanku ini terasa segar. Rupanya pesan uwaku benar, jika melatih tubuh harus dilakukan setiap hari," katanya seraya berjalan beriringan dengan Windu. Si pemuda pun hanya membalas dengan kata-kata seadanya. Mereka kemudian kembali ke permukiman yang dekat jaraknya dari tempat mereka berlatih tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembang Kinasih (SELESAI)
Historical FictionJodoh Taramanik sebagai putri seorang juru gusali telah diatur sedemikian rupa oleh sang orang tua. Namun bagaimana jadinya apabila dara jelita itu malah jatuh hati ke yang lain? Seiring rasa yang terus tumbuh, Taramanik menyadari itu adalah sebuah...