Sapuluh

28 6 0
                                    

🌺🌺🌺

Ki Tejalingga selalu menebar senyum, sekalipun ia tahu bahwa hawa di balai depan kediaman sang mpu begitu menyesakkan. Ia jelas tahu kehadirannya sama sekali tidak diharapkan. Namun seolah-olah mati hati, pedagang kaya raya itu tetap menikmati hidangan sambil sesekali melanjutkan ceritanya yang baru saja kembali dari negeri seberang.

"Tanah Sunda seperti diberkati. Hasil lada mereka luar biasa. Tetapi, aku harus membayar lebih untuk keamanan karena ada banyak begundal di sana. Sementara di Kahuripan, aku mendapatkan biji padi yang begitu wangi. Tanah mereka memang sangat subur untuk itu. Namun tentu saja, tidak ada yang bisa mengalahkan melimpahnya rempah-rempah dari bumi Daha ini." Ki Tejalingga terkekeh-kekeh usai berkata demikian. Bahkan sekalipun baginya pengalamannya adalah hiburan, tidak ada satu pun penghuni lain yang menanggapinya dengan senyuman.

Wangun pun berdeham, cukup kencang untuk didengar seluruh penghuni satu ruangan di sana.
"Tanpa mengurangi rasa hormatku, apa yang membuat Ki datang lagi kemari? Jikalau ini tentang Taramanik, aku rasa sudah cukup jelas titik temunya kala itu," katanya tegas.

Prabalarung agaknya sedikit terkejut dengan pernyataan Wangun tersebut. Dia pun mengalihkan pandangannya bergantian kepada Wangun dan tamu sang bapa. Agaknya memang ialah yang belum mengerti permasalahan sang tamu dengan keluarganya sebelum ini.

"Oh, memang. Tentang pinanganku kepada Taramanik memang sudah menemui titik temu, tetapi tujuanku kemari hari ini bukanlah untuk membahas pinanganku yang telah ditolak itu, melainkan untuk membahas Taramanik sendiri." Ki Tejalingga membalas.

Akhirnya Prabalarung mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya tadi. Ia mampu menyimpulkan alasan mengapa sang tamu seolah-olah menciptakan kesan tidak nyaman kepada keluarganya. Namun, keingintahuannya tetap berlanjut akibat pernyataan terakhir Ki Tejalingga.

"Apakah maksud Ki? Mengapa masih mengaitkan Taramanik dalam hal ini?" tanya Wangun.

Ki Tejalingga mengukir senyum pada bibir berkerutnya.
"Tentu saja Taramanik tetap akan terseret dalam hal ini. Walaupun niat baikku untuk meminang Taramanik telah gagal, bukan berarti aku sudah tidak peduli lagi kepadanya. Bukankah kalian sedang mencari Taramanik?"

"Apakah yang kau bicarakan, Ki?"

Ki Tejalingga berdecak. Matanya sedikit menajam.
"Ah, jangan mengelak, Wangun! Aku tahu apa yang terjadi di sini. Bukankah Taramanik telah menghilang?" Benak Ki Tejalingga bersorak melihat wajah-wajah penuh ketegangan di ruangan itu. Ia tidak kuasa menahan tawa kemenangannya. "Kalian hendak menuju Gunung Pawitra, meminta restu kepada Rsi Sayuta, tetapi sayangnya perjalanan kalian terganggu oleh sekelompok bramacorah. Dari sanalah kalian kehilangan jejak Taramanik. Bukankah begitu?"

Pulungwangi menoleh kepada Wangun, sementara Wangun sendiri hanya bisa saling pandang dengan Pu Banar. Tentu saja mereka terkejut akan kenyataan bahwa Ki Tejalingga mengetahui apa yang terjadi terhadap Taramanik. Serangkaian pertanyaan tentang bagaimana dan siapa yang memberikan kabar tersebut kepada sang pedagang kaya memenuhi benak.

"Tidak perlu menyembunyikan apa pun kepadaku, Pu. Aku sudah tahu semuanya. Istri pertamaku sendiri yang memberitakannya. Anampi dalam perjalanan kembali dari Medang bersama anak-anak buahku. Mereka mendengar suara gaduh kemudian memeriksa keadaan. Tanpa disangka, terlihatlah Taramanik yang sedang dikejar-kejar bramacorah. Sebenarnya anak buahku ingin membantu, tetapi sayang mereka kalah jumlah," terang Ki Tejalingga.

Semua yang di sana menyimak dengan saksama. Pu Banar sendiri berdebar-debar jantungnya. Seperti ada sesuatu yang tidak mengenakkan akan terjadi. Namun, ditekannya kuat-kuat perasaan tersebut. Sang mpu merasa dirinya harus menjadi yang paling tegak untuk saat ini.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang