🌺🌺🌺Riuh rendah terdengar di sudut kediaman Ki Tejalingga. Aneka makanan dan minuman disajikan, dikelilingi beragam manusia yang hilir mudik maupun berkerumun di satu sisi. Berbagai jamuan dipadati orang-orang. Para warga pun masih banyak yang berdatangan, sementara yang sudah hadir merasa enggan untuk pergi. Salah satu jamuan yang paling ramai adalah pertunjukan tari. Ada tujuh penari berlenggak-lenggok saat ini, mengikuti alunan kendang dan gambang. Para penari itu berada pada satu latar luas dengan pengiring tetabuhan.
Tiada hentinya mereka menghibur dan sesekali menggoda para lelaki yang melihat.Pu Banar bersama beberapa sesepuh dan pejabat desa saat ini sedang menikmati pertunjukan tersebut. Walau sebenarnya pikiran sang mpu melanglang buana. Sedari tiba benaknya merasa tidak nyaman dan hal tersebut bukanlah karena perayaannya. Entah mengapa pikirannya selalu terngiang-ngiang akan keadaan orang-orang di kediamannya. Dan entah bagaimana sesekali ia melihat sekelebat bayangan Hyuning atau Sukanya di antara kerumunan. Berkali-kali Pu Banar menenangkan diri, tetapi berkali-kali itu pula hatinya semakin gelisah. Yang demikian membuat duduknya tidak nyaman. Dan semakin tidak nyaman pula sang juru gusali tersebut akan kehadiran sang adik.
Sedari tadi Pu Dapa memintanya untuk mencicipi tuak. Tentu saja Pu Banar menolak dengan tegas. Mungkin saja ia akan bersedia mencobanya sewaktu muda dulu. Akan tetapi, sekarang ia sudah lebih sadar akan kesehatannya. Sang mpu pun sudah berjanji tidak akan meneguk minuman yang memabukkan lagi semenjak Taramanik lahir dan itu nyatanya membuat tubuhnya lebih baik dari sebelumnya.
Namun, rasa-rasanya Pu Dapa menjadi keras kepala. Sekian kali ditolak, sekian kali pula ia lebih gigih mencoba. Jikalau tuak tidak mempan, mungkin aroma arak akan lebih menggoda. Sayangnya, kakaknya yang satu itu telah bulat tekadnya. Tidak sedikit pun ia mau menyesap bahkan melirik minuman memabukkan tersebut.
"Jika demikian aku harus kembali sendiri," gumamnya di tengah keramaian, "lagipula ini sudah larut malam."
Pu Banar pun menyiapkan diri. Usai berpamitan dengan beberapa sesepuh dan pejabat desa di dekatnya, ia pun bangkit. Namun tiba-tiba saja, jarit sinjangnya ditarik seseorang yang tidak lain adalah Pu Dapa yang masih duduk menikmati arak.
"He, Kakang, apakah kau akan kembali? Bukankah pertunjukannya belum selesai? Kau bahkan belum mencicipi arak dari Medang ini. Sungguh si Tejalingga akan kecewa melihatnya," ujar Pu Dapa sambil melirik ke arah Ki Tejalingga yang mengawasi seraya duduk di singgasananya.
Pu Banar menghela napas panjang. Ia kemudian melihat ke arah sang pemilik perayaan yang kini duduk di panggung utama, terlihat begitu sumringah dengan dua pejabat desa lainnya dan beberapa gadis yang entah siapa. Tebersit heran di benak sang mpu manakala tiada dilihatnya ketiga istri sang saudagar.
"Rasanya aku tidak akan sempat berpamitan dengan Ki Tejalingga. Jika kau masih di sini, tolong sampaikan pamit dan rasa terima kasihku kepadanya, Yayi," balas Pu Banar.
"Ha, kau akan benar-benar pergi? Bagaimana dengan tuak-tuak ini? Bukankah Hyuning sudah mengijinkanmu dan pulang pagi pun rasanya tidak masalah, Kakang. Marilah kita nikmati perayaan yang langka ini," bujuk Pu Dapa.
Pu Banar berdecak kemudian menggeleng.
"Aku harus kembali, Yayi. Jika kau masih di sini, di sinilah. Aku akan kembali.""Ah, tidak, Kakang. Bukankah kita kemari bersama-sama? Maka jika pulang nanti pun harus bersama-sama. Marilah, cobalah sedikit arak ini kemudian kita akan kembali." Pu Dapa masih merayu.
Namun Pu Banar masih menolak.
"Aku akan kembali, Yayi. Rasanya sudah lama aku di sini dan mulai merasa lelah. Jika kau ingin kembali bersama, ajaklah orang-orang yang datang bersama kita tadi untuk menemani."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembang Kinasih (SELESAI)
Historical FictionJodoh Taramanik sebagai putri seorang juru gusali telah diatur sedemikian rupa oleh sang orang tua. Namun bagaimana jadinya apabila dara jelita itu malah jatuh hati ke yang lain? Seiring rasa yang terus tumbuh, Taramanik menyadari itu adalah sebuah...