Telungpuluh Lima

18 3 0
                                    


🌺🌺🌺

Keris itu silih berganti menyerang Pu Banar, dari kiri ke kanan. Sang mpu pun masih gesit menghindari. Pada gerakan berikut, sebelah kakinya menahan tendangan dari si lawan lalu dengan cepat menghadang sabetan senjata dari samping dengan tongkat. Secara bersamaan pula keduanya menyentak kaki yang tadinya bertabrakan sehingga masing-masing dari mereka terpaksa mundur ke belakang.

Baik Pu Banar maupun si lawan terengah-engah. Agaknya mereka telah mengeluarkan seluruh kemampuan. Namun memang tidak bisa dibantah bahwa keadaan saat ini kurang memihak kepada sang mpu. Andai lawannya meningkatkan kemampuan dan kecepatan sedikit lagi, ayah tiga anak itu pasti kewalahan. Hanya tongkat itulah satu-satunya yang mampu membantu.

"Apa yang kau mau? Jika harta, aku bisa memberikannya tanpa perlawanan seperti ini!" Pu Banar mencoba melakukan kesepakatan. Dirinya merasa sia-sia menguras tenaga dengan orang yang sama sekali tidak dikenal dan berharap lawannya itu memang hanya menginginkan harta benda. Keadaan Sukanya yang mendesak, ditambah benak yang sedari tadi belum tenang membuatnya hampir-hampir kehilangan kesabaran.

Namun, yang ditanyai hanya diam seribu bahasa. Lalu secara cepat dan tiba-tiba menyongsong Pu Banar seraya mengacungkan senjatanya kembali.

Maka tiada pilihan selain menyambut serangan tersebut dan sang mpu kembali harus bertahan sekuat tenaga. Hingga pada suatu kesempatan, senjata masing-masing saling beradu dengan keras dan menciptakan ketidakseimbangan. Tangan mereka yang berselisih bergetar sehingga tidak sengaja melepaskan keris.

Ketika menyadari hal tersebut, Pu Banar segera melayangkan tongkatnya. Sayang hal tersebut mampu dihindari si lawan yang dengan gesit bersalto ke belakang.

Napas sang mpu memburu. Sejatinya ia tidak ingin menambah beban penyakit di tubuh, tetapi sadar bahwa lawannya ini tidak menginginkan harta benda. Dan hal itu membuat Pu Banar semakin penasaran dengan siapa ia berhadapan.

Dengan masih adanya tongkat di tangan, keadaan Pu Banar tentu lebih unggul sehingga sekali-sekali lawannya terpaksa mundur dari serangan. Dan hal itupun digunakan sang juru gusali untuk semakin gencar melakukan perlawanan. Maka setelah sekian pukulan, tongkat sang mpu berhasil memukul mundur si lawan. Orang dengan penutup wajah itu terhuyung-huyung hingga terduduk seraya memegangi dada.

Pu Banar yang melihatnya sebagai kesempatan pun segera menyusul lawannya, bermaksud membuka penutup wajah untuk mengetahui jati diri orang yang bersembunyi selama ini.

Siapa sangka, yang terjadi selanjutnya adalah si lawan tiba-tiba melemparkan tanah bercampur kerikil kecil ke arah sang mpu ketika jarak telah dekat. Pu Banar dengan sigap bergerak mundur seraya melindungi mata yang sebagian telanjur terkena tanah. Yang terjadi selanjutnya adalah si lawan dengan cepat pula berbalik menyerang. Ia mematuk pergelangan tangan sang mpu sehingga tongkat yang dipegang pun terlepas dengan mudah. Kemudian melancarkan tendangan keras, mengakibatkan Pu Banar ambruk. Si lawan yang tiada memberi ampun menyiapkan kakinya, tetapi sang mpu mampu menghalau tepat sebelum kaki lawannya mengenai dada. Tangannya dengan cekatan menarik kaki si lawan sampai terjengkang kemudian tubuhnya digulingkan dengan kaki saling mengunci pergerakan.

Baik Pu Banar maupun si lawan sama-sama tidak memiliki kesempatan untuk melepaskan kuncian. Hingga pada akhirnya sang mpu sengaja mengeraskan kuncian pada kaki sampai terdengar bunyi tulang yang kemeletak.

"Kakang!"

Pekikan dari si lawan itu serta-merta membuat Pu Banar terkejut. Ia bahkan tidak menyadari munculnya kereta kuda yang terlihat bersama serombongan orang.

"Pu! Ada yang datang! Kita bisa meminta bantuan!" seru Boma yang tanpa menunggu persetujuan segera saja menghampiri serombongan orang bersama kereta kuda yang masih berjarak sekitar dua puluh tombak.

Kembang Kinasih (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang