26 - Janji kecil

45 8 3
                                    

“Bel, kamu lihat Tristan, gak?” tanya Meisya sekembalinya aku dari toilet

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Bel, kamu lihat Tristan, gak?” tanya Meisya sekembalinya aku dari toilet.

“Tadi sih ada di dalam, Mei. Coba kamu cek, deh,” ujarku. Meisya mengangguk, kemudian berlalu dari hadapanku. Sepertinya, ia ingin menyusul Tristan ke dalam.

Ngomong-ngomong, aku masih terus memikirkan percakapan antara aku, Tristan, dan Vero saat di dalam tadi. Hingga panggilan dari Vero membuat lamunanku seketika buyar. Aku menghampiri Vero yang kini duduk di sebuah ayunan putih yang sekiranya cukup untuk diduduki 4 orang. 2 di kursi sebelah kiri dan 2 di sebelah kanan.

“Duduk sini, Bel. Ada yang pengen aku omongin.” Vero menepuk kursi di sebelahnya, padahal aku hendak duduk di kursi seberang. Melihat wajah serius Vero, aku akhirnya menurut untuk duduk di sebelahnya. Sepertinya memang ada hal penting yang ingin ia bicarakan denganku.

“Mau ngomongin apa, Ver?”

“Aku mau minta maaf.”

Aku mengerutkan keningku, “Buat?”

“Buat ucapan Tristan yang mungkin nyakitin perasaan kamu. Aku gak tahu apa aja yang udah diomongin sama dia ke kamu, jadi aku minta maaf, ya.”

Aku tersenyum kecil mendengar permohonan maaf dari Vero. Padahal, sekalipun ada perkataan yang menyakiti perasaanku, maka itu adalah tanggung jawab Tristan untuk meminta maaf. Namun, aku tahu maksud permintaan maafnya ialah untuk mewakili sahabatnya yang satu itu.

“Ver, kamu gak perlu minta maaf. Gak ada satu pun omongan Tristan yang nyakitin perasaan aku, kok. Lagian, aku paham kenapa Tristan ngomong gitu sama aku. Dia cuma gak mau aku nyakitin sahabatnya,” jawabku lantas meletakkan sebelah telapak tangannya di antara kedua tanganku. “Dia itu sahabat yang baik, Ver. Kamu beruntung karena punya dia di sisi kamu. Jarang loh ada sahabat cowok yang kayak gitu.”

Bukannya aku berniat memuji Tristan atas ucapannya barusan kepadaku, hanya saja kurasa tidak ada yang salah dari ucapannya. Wajar bila seorang sahabat merasa marah ataupun kecewa ketika seseorang yang ia kenal justru berubah hanya karena orang lain.

“Iya, Bel. Dia emang sahabat yang baik. Sayangnya, sifat dia yang dingin susah banget buat dihilangkan. Jangankan sama orang yang baru dikenal, sama Meisya yang notabenenya udah berstatus jadi pacar dia aja kadang masih digituin,” ujar Vero. Aku mengikuti arah pandang lelaki itu yang kini tengah berfokus pada dua insan yang duduk di tempatku bersama Meisya tadi. Siapa lagi jika bukan Tristan dan Meisya.

“Kalau gitu, Meisya cewek yang tangguh dong, ya? Dia mampu bertahan sama cowok semacam Tristan. Kalau aku jadi Meisya, tentunya aku gak bakal bisa bertahan,” kataku yang semakin hanyut menikmati pemandangan Meisya yang tengah menyuapi Tristan itu.

“Kayaknya kamu udah ngomong banyak, ya, sama Meisya?” tanya Vero. Aku mengembalikan fokusku menatap Vero dan mengangguk.

“Lumayanlah,” jawabku. “Meisya anaknya asyik, kami juga punya kesamaan dalam pandangan. Itu yang buat aku ngerasa satu frekuensi sama Meisya.”

Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang