31 - Kuncinya ialah kepercayaan

42 7 3
                                    

“Sebelumnya, aku minta maaf, Ei, Fa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Sebelumnya, aku minta maaf, Ei, Fa. Aku tahu, aku salah dengan cara aku nyembunyiin fakta kalau sebenarnya Vero itu seorang pecandu vape ke kalian. Aku minta maaf ....” Aku menundukkan kepalaku sembari menautkan kedua jemariku. “Tapi, aku punya alasan karena nyembunyiin semua itu. Aku tahu kalian pasti bakalan mencela Vero setelahnya. Itu yang aku takutkan, Ei, Fa. Aku takut kalian bakalan minta aku jauhin Vero dengan kondisi ... I have fallen in love with him again.”

Aku menatap Eisha dan Shafa bergantian. “Tapi, sekarang aku sadar. Aku gak bisa sembunyiin masalah ini dari kalian. Walau bagaimanapun, kalian itu sahabat aku dan kalian berhak tahu gimana sifat dan kepribadian orang yang lagi dekat sama aku sekarang. Bukannya dengan kalian pengen tahu gimana kriteria cowok yang lagi dekat sama aku artinya kalian peduli sama aku? Kalian gak mau aku jatuh ke orang yang salah. Iya, kan?”

Anggap saja aku tengah over pede sekarang ini. Namun, mendengar ucapan Arsy dua hari yang lalu, aku seolah disadarkan bahwa tidak semua bentuk kepedulian itu ditunjukkan dengan cara yang sama. Terkadang, ada sebuah bentuk kepedulian yang tersembunyi di balik amarah.

“Sekali lagi, aku minta maaf karena aku udah nyembunyiin ini sama kalian. Aku bener-bener minta maaf,” ujarku untuk kesekian kalinya.

“Bel, udah. Jangan terus-terusan minta maaf kayak gitu. Di sini bukan cuma kamu yang salah. Tapi, aku juga. Shafa juga. Kami salah karena kami sembarang menarik kesimpulan bahwa kamu berniat menyembunyikan segala sesuatu dari kami. Mungkin, kalau aku jadi kamu, aku juga bakalan berlaku yang sama. Menyembunyikan sebuah fakta untuk menyelamatkan orang yang kita cintai dari berbagai celaan yang datang. Tapi, satu hal yang perlu kita sama-sama tahu. Sepandai-pandainya kita menutupi bau bangkai, suatu saat juga akan tercium baunya. Sama seperti kita yang berusaha menyembunyikan sebuah fakta, lama-lama bakalan terbongkar. Bedanya cuma di masalah waktu dan cara terbongkarnya.”

Aku sedikit terpukau dengan penjelasan Eisha. Namun, ini bukan saat yang tepat untuk memujinya atas penjelasan panjangnya.

“Betul kata Eisha, Bel,” ujar Shafa tiba-tiba. Aku memindahkan fokusku dari Eisha kepada gadis yang kondisinya sedang tidak fit itu. Bibir merah mudanya menjadi pucat hari ini, juga sorot matanya tak sesegar biasanya. “Aku juga minta maaf. Kayaknya aku yang terlalu sensian menghadapi semua masalah ini,” lanjut Shafa.

Tatapan kami kini menyatu. Masing-masing dari kami menatap satu sama lain dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah penyesalan.

“Aku cuma gak mau, Bel, sahabat aku jatuh ke orang yang salah. Setiap aku bayangin salah satu dari kita dekat dengan bad boy, aku selalu takut terjadi apa-apa sama kalian,” ujar Shafa sendu. Ucapannya seolah mengetuk keras pintu hatiku, seperti hendak menyadarkanku betapa Shafa begitu mempedulikan aku dan Eisha sebagai sahabatnya. Selama ini, Shafa memang yang terlihat paling sensi di antara kami. Ia selalu dengan cepat mengambil sebuah kesimpulan dari sesuatu yang belum tentu benar adanya. Namun, kini aku tahu, itu semua semata-mata ia lakukan untuk mencegah hal buruk terjadi kepada kami ... sahabatnya.

“Kalian tahu sendiri, kan? Omku dulu juga seorang pecandu rokok. Cuma gara-gara dia gak punya uang buat beli rokok, dia sampai harus ngorbanin tabungan sekolah anaknya. Saat tante aku mencoba ambil tabungan itu, om aku sampai berani main kasar sama istrinya sendiri. Semua itu cuma gara-gara benda sialan itu.” Suara Shafa terdengar bergetar ketika mengingat kembali cerita lama tentang om dan tantenya. Eisha yang berada di sebelah Shafa langsung memeluk gadis itu. Sementara aku mengelus kaki Shafa yang terbungkus selimut bermotif hello kitty itu.

“Cukup tante aku yang digituin, Bel, Ei. Aku gak mau kalau nantinya salah satu dari kalian ngalamin hal kayak gitu juga,” ujar Shafa sesenggukan.

“Iya, Fa. Kamu tenang aja. Hal itu gak bakal terulang, kok. Aku janji sama kamu,” ucap Eisha yang kini mengelus surai kecokelatan milih Shafa.

“Aku juga janji sama kamu, Fa. Aku bakalan jaga diri aku baik-baik. Lagipula, Vero gak seburuk yang kalian pikirkan tentang cowok pengguna vape lainnya. Aku berani jamin kalau Vero gak akan nyakitin aku,” ujarku dengan penuh keyakinan. Sama seperti halnya dengan saran Arsy, aku harus membangkitkan kepercayaan Eisha dan Shafa tentang Vero. Cukup luarannya saja yang dicap orang jelek, namun tidak boleh dengan hatinya.

“Aku percaya sama kamu, Bel. Tapi, kalau suatu saat Vero nyakitin kamu, jangan segan-segan untuk bilang ke kami. Kami masih sahabat kamu, kan?”

Aku tersenyum kecil mendengar pertanyaan Shafa. “Kamu dan Eisha selamanya bakalan jadi sahabat aku, Fa. Karena, gak ada satu hal pun yang dapat memisahkan kita,” ujarku dengan tulus. “Aku juga janji, hal sekecil apa pun gak akan aku sembunyiin lagi dari kalian. Termasuk ... tentang Vero.”

“Nah, kan, pada senyum semuanya. Kalau gini, kan, enak dipandang,” ucap Eisha ikut tersenyum. “Jadi, udah baikan, kan, semuanya?”

Aku melirik Shafa dan berujar bersamaan, “Iya, dong.”

“Berpelukan dulu, dong,” sorak Eisha. Aku lantas mendekatkan diri kepada Eisha dan Shafa. Kami berpelukan layaknya teletubbies di film masa kecil.

Aku bahagia. Akhirnya, hubunganku dengan kedua sahabatku kembali membaik. Satu-satunya penghalang kebersamaan kami hanyalah kesalahpahaman. Syukurnya, kini kesalahpahaman itu telah tiada dan digantikan dengan kepercayaan. Semoga, aku tidak akan memecahkan rasa kepercayaan Eisha dan Shafa lagi. Mereka adalah sahabatku. Dan, selamanya akan selalu begitu.

Because, true friendship will never end. Seperti itu jugalah persahabatanku dengan Eisha dan Shafa.

Kami mengurai pelukan kami setelah beberapa saat lantas saling menatap satu sama lain. Itu terjadi selama beberapa saat, hingga suara Shafa memecahkan keheningan di antara kami.

“Mau apelnya, dong,” ujar Shafa dengan nada manjanya sembari menunjuk parsel buah yang aku bawa tadi.

“Katanya tadi nggak mau,” ledekku.

Shafa mengerucutkan bibirnya, lalu berujar, “Ya, itu kan tadi. Sekarang mau.”

“Ya udah, aku ambilin pisaunya dulu ke bawah,” ucapku lalu berdiri dari ranjang Shafa.

“Eh, Bel, aku aja yang ambil. Sekalian mau ke toilet,” ujar Eisha. Aku pun mengangguk dan menggantikan posisi Eisha yang duduk di sebelah Shafa tadi.

Aku mendekap tubuh gadis itu sekarang di dalam pelukku. “Makasih, Fa. Kamu udah mau maafin aku,” ucapku sembari mengelus puncak kepalanya.

“Jangan makasih, Bel. Udah seharusnya aku maafin sahabat aku, kan? Lagian, terlalu berlarut dalam kesalahpahaman juga rasanya nggak enak. Aku ngerasa kehilangan beberapa hari ini.”

“Aku juga, Fa. Tapi, syukurnya, sekarang masalah kita udah selesai. Kamu cepat sembuh, dong. Biar nanti kita bisa hangout ke mall,” ucapku sembari menarik hidung mancungnya perlahan.

“Amin. Moga aku cepat sembuh, ya. Kalau aku sembuh, besok kita gas ke mall,” kata Shafa dengan antusias. Aku tersenyum kecil mendengar keantusiasannya.

Tiba-tiba terdengar sebuah notifikasi yang muncul di ponsel salah satu dari kami. Ternyata, itu dari ponsel Shafa.

“Bel, tolong ambilin ponsel aku di sana, dong,” pinta Shafa. Aku mengangguk lalu melepas pelukanku di tubuh Shafa. Aku berjalan menuju meja belajar Shafa dan mengambil ponselnya yang kini layarnya tengah hidup.

3 messages from Amran

Seketika, duniaku nyaris runtuh membaca nama dari pengirim pesan itu.

Apa ... dia Amran yang sama?

•-•-•-•-•

Tbc.🌈

Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang