Kepergian Arsy ternyata meninggalkan luka yang begitu dalam. Terlebih, bagi orang-orang yang mencintai lelaki manis itu. Aku adalah salah satu dari mereka. Manusia yang masih sulit berlapang dada akan rasa kehilangan.
Semasa hidupnya, Arsy selalu mengajarkanku untuk mengerti makna sesungguhnya dari keikhlasan. Sayangnya, mengikhlaskan bukan hal yang mudah. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk mengikhlaskan kepergian Arsy, termasuk dengan melakukan berbagai aktivitas penunjang kesibukan untuk melenyapkan rasa sedih itu. Namun, kegagalan selalu terpampang nyata di hadapanku. Nyatanya, aku gagal untuk tidak memikirkan mengenai Arsy.
Tanpa aku sadari, hari ini tepat dua minggu kepergian Arsy. Aku mengajak Vero untuk mengunjungi makam lelaki itu, mengingat seminggu terakhir ini aku belum pergi sama sekali. Sebelum pergi ke makam Arsy, aku meminta Vero untuk berhenti di Ave florist. Ave florist adalah tempat yang menjual berbagai macam bunga segar. Aku ingin menghiasi makam Arsy dengan bunga lily putih. Warna putih identik dengan segala sesuatu yang bersifat suci, termasuk bunga lily itu sendiri. Aku membelikan bunga lily ini sebagai lambang ketulusan sekaligus persahabatanku dengan Arsy.
Setelah membeli bunga, kami lantas melanjutkan perjalanan menuju makam. Tak butuh waktu lama, mobil Vero berhenti di parkiran pemakaman. Aku turun dan mulai menjejaki kakiku di tanah pemakaman itu. Seolah sudah begitu hafal dengan jalan di sekitar sini, aku tidak tersesat dan langsung bersimpuh di hadapan sebuah makam dengan tulisan Arsy Mahaprana.
Aku memperhatikan makam baru untuk peristirahatan terakhir Arsy itu. Seingatku, terakhir kali aku ke sini, makamnya masih berupa gundukan tanah.
Aku mengelus nisan itu dengan perlahan. Senyumku seolah tertahan di ujung bibir, hingga orang lain yang melihatku tentunya akan merasa bahwa ini bukan senyum ikhlas yang biasa kutampilkan.
“Hai, Ar. Aku datang lagi. Jangan bosen ngelihat aku terus, ya,” ujarku sembari terkekeh kecil. “Kali ini aku datang bawain kamu bunga lily. Cantik, kan, kayak aku? Bunga lily ini aku taruh di sini.” Aku lantas menaruh bunga lily yang kubeli tadi di samping dekat nisan Arsy.
“Kamu tahu nggak filosofi bunga ini? Bunga lily putih itu pertanda ketulusan sekaligus persahabatan, Ar. Dan, sekarang bunga ini akan menjadi lambang ketulusan yang kamu berikan saat berteman sama aku dan persahabatan yang kita punya. Kamu sendiri pernah bilang, yang namanya sahabat itu gak bakalan pernah ada kata mantan. Sama seperti kita. Sekalipun kita udah beda dunia, kita tetap sahabatan. Iya, kan, Ar?”
Aku mengusap air mataku yang luruh begitu saja, lantas mencoba untuk tersenyum kuat. “Nggak terasa, ya. Udah dua minggu kamu ninggalin aku. Apa kamu nggak niat buat nemuin aku di mimpi? Aku selalu nungguin kamu, loh, Ar. Setidaknya, kalau aku udah nggak bisa ngomong sama kamu seperti biasa, aku pengen bisa ngomong sama kamu di dalam mimpi.”
Aku menoleh ke sebelah dan mendapati Vero yang ikut bersimpuh di makam Arsy. Ia tersenyum kepadaku seolah tengah memberikanku kekuatan lebih.
“Ar, maaf. Kayaknya aku nggak bisa lama-lama di sini. Habis ini aku harus ke kampus. Gak sampai sebulan lagi, ujian akhir udah dilaksanakan. Doain aku, ya? Semoga aku dapat nilai yang bagus di ujian aku nanti. Doain aku juga, semoga aku bisa jadi guru yang baik nantinya.” Aku menghela napasku perlahan. “Seandainya aja, kamu masih hidup. Kita pasti bisa wisuda bareng-bareng. Kelihatannya seru. Iya, kan, Ar?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]
Romance[ Juara 3 Writing Project Kimbab Publisher ] Setelah sekian lama, Bella Kamala kembali dipertemukan dengan cinta pertamanya, Cavero Lastana. Cinta lama bersemi kembali mungkin adalah julukan yang tepat untuk kedekatan yang kembali terjalin di antara...