17 - Surprise

46 8 6
                                    

Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi, dimana mentari dan sinarnya sudah keluar menampilkan diri untuk menerangi bumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi, dimana mentari dan sinarnya sudah keluar menampilkan diri untuk menerangi bumi. Katanya, sinar mentari di pagi hari itu bagus untuk kesehatan tulang. Oleh karena itu, aku berniat mengajak Eisha dan Shafa untuk bersepeda berkeliling gang.

Jam seperti ini, para ibu-ibu sudah pulang dari pasar biasanya, sehingga jalan tidak akan seramai biasanya. Ditambah lagi dengan para anak sekolah yang sudah berangkat. Jalanan gang pasti enak untuk dijadikan area untuk bersepeda.

Namun sayangnya, niatanku terpaksa dibatalkan. Barusan Om Wisnu—ayahnya Shafa—menelepon dan meminta Shafa untuk segera pulang. Mereka harus segera pergi ke rumah neneknya Shafa. Katanya, penyakitnya kembali kambuh. Aku pun tidak tahu jelas penyakit apa yang diderita oleh nenek Shafa.

Maka dari itu, sekarang Eisha dan Shafa harus pulang. Meski sepertinya setengah dari hati mereka masih tertinggal di sini.

“Padahal aku masih mau di sini sama kalian. Cuma, aku harus segera pulang,” ujar Shafa yang terlihat sedih. Aku mengelus bahunya dan mengatakan masih ada waktu lain untuk menghabiskan waktu bersama. Sekarang, ia harus memberi support kepada neneknya terlebih dahulu.

Eisha dan Shafa berpamitan kepadaku dan setelahnya Eisha melajukan motornya keluar dari pekarangan indekos. Aku melambaikan tangan kepada mereka hingga bayangan mereka hilang dari penglihatanku.

Aku berjalan masuk ke dalam indekos dan menutup pintu. Dari jendela, aku dapat melihat sebuah mobil Innova hitam berhenti di depan indekosku. Namun, aku mengabaikannya. Mungkin saja itu mobil milik teman Kak Sonya yang menumpang parkir di depan indekosku. Lagipula, tidak ada tulisan dilarang parkir di sana. Jadi bebas saja untuk mereka memarkirkan mobilnya di depan sana.

Aku berjalan ke belakang, memutuskan untuk mencuci piring bekas sarapan tadi. Namun, suara ketukan pintu membuatku cepat-cepat membilas sabun di tanganku dan berjalan untuk membukanya.

“Tunggu sebentar,” sahutku dari dalam, ketika ketukan kedua terdengar. Mungkin si pengetuk takut aku tidak mendengar.

“Papa? Mama?”

Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah kedua orang tuaku. Ternyata, yang mengetuk pintu ialah mereka berdua. Jangan-jangan, mobil hitam tadi juga mobil yang ditumpangi mereka.

“Bella. Ya ampun, Mama kangen banget sama kamu.” Aku segera berhambur ke pelukan mama. Ah, sudah lama rasanya aku tidak merasakan dekapan hangat itu. Jika dihitung-hitung, sudah 10 bulan lamanya kami tidak bertemu. Tuntutan pekerjaan papa membuatnya tidak bisa sering main ke sini.

“Bella juga kangen sama Mama,” ujarku. Setelah puas berpelukan dengan mama, aku beralih menatap pria paruh baya yang ada di sebelah mama. Sosok papa yang merupakan cinta pertamaku. Aku memeluknya dengan erat untuk melepas rindu yang telah lama terpendam.

Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang