Tuh, kan, apa aku bilang tadi? Sudah pasti ada ada evaluasi untuk kegiatan hari ini. Sebenarnya, tujuan diadakannya evaluasi itu baik, yakni untuk mengetahui kesalahan yang dilakukan hari ini dan memperbaikinya di kepanitiaan yang akan datang. Tapi masalahnya, di evaluasi kali ini ada sedikit perdebatan kecil yang diciptakan oleh Razka. Seperti biasa, ketua panitia Dies Natalis itu tidak terima bila namanya disebut sebagai pencipta kericuhan. Ia lalu mengungkit masalah yang terjadi di ruang konsumsi tadi dan menyalahkan Sherly sebagai biang masalah. Padahal, baru saja tadi aku memberikan wejangan untuknya.
Kupikir, perdebatan itu akan panjang urusannya. Tapi, ternyata aku salah, karena kakak-kakak pengurus tidak memperpanjang perdebatan itu. Beruntungnya, mereka masih berbaik hati kepada kami, sehingga tidak menahan kami lebih lama untuk mendengarkan evaluasi. Tepat pukul 7 malam, kami sudah selesai berkemas barang-barang di auditorium. Lantas sekarang, aku sudah melangkahkan kaki keluar dari ruangan panitia dan bersiap untuk pulang. Terakhir di ruangan itu, masih ada Razka dan beberapa panitia lain yang bertengger di sana. Sempat kulihat wajah Razka yang sepertinya mengisyaratkan sebuah penyesalan. Mungkin, lelaki itu menyesal karena sudah membuat perdebatan kecil dengan kakak-kakak pengurus.
Akhirnya, kelegaan menyelimuti pikiranku. Berlangsungnya kegiatan hari ini dengan cukup baik pertanda bahwa wacana yang sudah kami rencanakan sejak jauh hari tidak sia-sia. Tapi, semuanya tidak berakhir di situ. Masih ada laporan pertanggungjawaban yang harus diselesaikan dalam waktu kurang dari sebulan. Setidaknya, aku masih bisa memanfaatkan waktu sejenak untuk beristirahat, sebelum berperang menyelesaikan LPJ.
Aku berjalan menuju parkiran, dan melihat ada dua orang gadis yang berdiri tak jauh dari tempat motorku berada. Aku menghampiri mereka, lantas menyapa keduanya.
"Halo, Ei, Fa."
"Halo, Bel."
Sayangnya, hanya Eisha yang membalas sapaanku. Ah, ngomong-ngomong, biar aku kenalkan mereka berdua. Yang tadi membalas sapaanku, namanya Eisha Gwenara. Ia anak yang manis, dengan mata sipitnya yang sering kali ikut melengkung seiring dengan senyumnya. Rambut sebahunya membuat Eisha tampak seperti anak kecil yang menggemaskan. Hanya ada satu hal yang menurutku cukup menyebalkan dari Eisha, yaitu ia suka memotong pembicaraan.
Sementara yang satunya lagi, namanya Shafa Calandra. Kami menjulukinya si cantik blasteran, padahal ia asli orang Indonesia. Wajahnya yang mirip blasteran itu membuatnya menjadi primadona angkatan. Rambutnya panjang, berwarna kecokelatan. Tingginya proporsional bak model. Ia juga murah senyum. Ah, sempurna sudah jika berbicara mengenai seorang Shafa.
Sayangnya, senyuman yang biasa ditampilkan Shafa kini tidak ada. Gadis itu tampaknya masih marah dengan kejadian yang lalu. Saat itu, kami tengah bermain sebuah permainan Truth or Dare. Lantas, ketika aku diharuskan memilih truth or dare di putaran pertama, aku memilih truth dan mengatakan bahwa aku mempunyai sebuah rahasia yang aku tutupi dari Eisha dan Shafa. Di putaran selanjutnya, Shafa memintaku untuk jujur kepadanya. Namun, aku menjawab aku belum bisa menceritakannya kepada mereka. Jadilah Shafa mengira bahwa aku sudah melupakan gelar persahabatan kami karena aku yang enggan bercerita. Padahal, itu sama sekali mustahil. Aku bersahabat dengan keduanya sudah cukup lama. Mana mungkin aku melupakan mereka berdua. Aku hanya belum siap bercerita, meski kejadian dibalik rahasia itu sudah berlalu dua tahun lamanya.
"Fa, kamu masih marah dengan kejadian yang kemarin?" tanyaku. Namun, Shafa masih terlihat enggan menjawab.
"Fa, aku minta maaf, bukannya aku main rahasia-rahasiaan. Cuma, aku belum siap buat cerita aja." Sebenarnya, sedari tadi aku sudah ingin menjelaskan masalah ini kepada Eisha dan Shafa. Sayangnya, aku tertahan dengan kesibukan panitia saat gladi resik tadi pagi. Shafa sebagai MC di kegiatan hari ini dan Eisha sebagai operator membuat keduanya selalu berada di bagian depan auditorium.
"Kamu bukannya belum siap cerita, Bel. Tapi, emang gak mau cerita. Aku tahu, kok, kamu pasti udah dapet teman baru yang lebih asyik. Makanya, kamu udah lupa sama kita." Kata 'kita' di akhir ucapan Shafa seolah meminta persetujuan dari Eisha. Namun, kulihat Eisha tak jua membalas.
"Fa, bukannya gitu. Kamu salah pa-"
"Ei, pulang, yuk," ujar Shafa tiba-tiba, sembari mendesak Eisha untuk menyalakan mesin motornya.
"Fa, dengerin dulu."
Shafa tidak menghiraukanku, ia malah berjalan menjauh. "Ei, aku tunggu di sana, ya," ujarnya.
Aku hendak mengejar Shafa, tapi pergelangan tanganku dicekal oleh Eisha.
"Biarin aja dulu, Bel," ujarnya menahanku. "Aku paham, kok, kadang kita butuh ruang untuk nyimpan cerita kita sendiri, tanpa menceritakannya ke orang lain. Ya, anggap aja itu privasi. Aku rasa, Shafa lagi dalam mode sensi aja, makanya dia ngerasa tersinggung karena kamu gak mau cerita masalah kamu," lanjut Eisha sembari mengelus pundakku.
"Nanti aku bakalan coba bicara sama Shafa, biar dia bisa paham sama keadaan kamu. Aku pulang dulu, ya."
Ucapan Eisha tadi benar-benar menguatkanku. Aku bersyukur, karena Eisha dapat mengerti posisiku saat ini. Sekarang, yang menjadi masalahnya ialah aku tidak bisa terus-terusan merahasiakan masalah ini dari mereka. Suatu saat nanti, aku tetap harus cerita ... apa pun risikonya.
•-•-•-•-•
Sesampainya di indekos, aku langsung meluncur ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Seharian bertugas di kepanitiaan benar-benar membuat tubuhku lengket akan keringat. Tak butuh waktu lama, aku sudah keluar dari kamar mandi dengan kain handuk yang membungkus rambutku. Aku segera duduk di kursi kayu, sembari membuka layar ponselku.
Indekosku tidaklah luas. Namun setidaknya cukup untuk menjadi tempatku berlindung dari hujan dan panas. Aku sudah tinggal di indekos selama 5 bulan. Tepatnya, setelah papa dan mama memutuskan untuk menjual rumah milik kami. Papaku dipindahtugaskan ke luar kota, sehingga papa dan mama memutuskan untuk meninggalkan kota ini. Alasan klasik sebenarnya, tapi itu keputusan mereka.
Sementara kedua orang tuaku pindah, aku memilih untuk tetap berada di kota ini dan tinggal di indekos. Masalah kuliah adalah alasan utamaku untuk tetap tinggal. Beruntungnya, indekos yang aku tinggali ini milik Bu Elia, salah satu teman mama. Aku dengan senang hati tinggal di indekos itu.
Bu Elia bukan tipikal yang cerewet layaknya ibu-ibu kebanyakan. Ia lebih cenderung kalem. Senyumnya benar-benar menenangkan dan itu mengingatkanku kepada mama.
Ngomong-ngomong, papaku itu mantan dosen, jika kalian ingin tahu. Ia dulunya mengajar di kampusku, tepatnya di fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sayangnya, setelah 5 tahun mengajar, ia memilih untuk tidak memperpanjang kontrak kembali. Setelah berhenti mengajar, ia bekerja di sebuah penerbitan milik temannya. Setahun bekerja, papa dipindahtugaskan ke kota lain untuk mengurus cabang penerbitan yang baru diresmikan. Papa itu ulet bekerja dan itu yang membuat aku begitu kagum kepadanya.
Beralih dari kedua orang tuaku, saat ini aku tengah men-scroll sosial media milikku, sembari menekan tombol love pada setiap postingan yang lewat di beranda. Jariku terus menggulir beranda, hingga aku melihat satu akun yang disarankan kepadaku untuk diikuti. Akun itu diikuti oleh 89 pengikut yang sama denganku. Aku menekan profil akun itu dan betapa terkejutnya aku kala melihat sebuah postingan di akun itu.
•-•-•-•-•
Tbc.🌈
Note : LPJ adalah singkatan dari laporan pertanggungjawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]
Romance[ Juara 3 Writing Project Kimbab Publisher ] Setelah sekian lama, Bella Kamala kembali dipertemukan dengan cinta pertamanya, Cavero Lastana. Cinta lama bersemi kembali mungkin adalah julukan yang tepat untuk kedekatan yang kembali terjalin di antara...