Rasanya, aku butuh waktu lebih banyak untuk bersama Arsy. Setidaknya dengan lelaki itu, aku dapat merasakan kenyamanan yang tak aku dapatkan dari lelaki lain. Arsy itu dewasa, bijaksana, dan kata-katanya selalu mampu menenangkan kegundahan hatiku. Namun, jika ditanya apakah aku berniat menjadikannya lebih dari sekadar sahabat ataupun saudara, maka jawabanku tidak.
Aku terlalu menyayangi Arsy dan takut kehilangannya. Jika aku ditawarkan pilihan untuk memiliki Arsy selamanya, mengapa aku tidak memilihnya? Karena, jalan satu-satunya untuk aku tidak kehilangan Arsy ialah tidak menjadikannya sebagai pelabuhan cintaku.
Bukankah kata mantan tidak berlaku untuk gelar persahabatan atau persaudaraan? Lantas, bukankah itu artinya tidak akan ada kata putus dan hilang kontak di hubungan kami? Itu yang aku inginkan. Bukannya malah menjalin hubungan lebih yang kemudian berpotensi memutus tali persaudaraan kami.
Sayangnya, setelah ini Arsy mempunyai kelas. Akibatnya, ia tidak bisa menemaniku lebih lama. Aku pun memutuskan untuk pulang ke indekos mengingat tidak ada lagi yang bisa kulakukan di luar. Lebih baik, aku memanfaatkan waktu untuk mengulas kembali materi kuliah yang akan diujiankan besok.
Sebelum pulang, aku mampir sebentar ke supermarket untuk membeli beberapa keperluan dapur yang sudah habis. Setelah itu, barulah aku melanjutkan perjalanan pulang.
Aku menjalankan motorku dengan pelan tatkala mendapati seorang lelaki tengah duduk di teras indekos. Itu Vero.
Aku menghela napas. Apa aku memang harus mendengarkan penjelasannya? Jika iya, memangnya tidak bisa besok saja? Mengapa ia sudah ada di indekos sekarang ini?
“Bel, akhirnya kamu pulang juga. Kamu dari mana?” tanyanya terdengar panik.
“Kamu ngapain ke sini, Ver?”
“Aku mau jelasin semuanya sama kamu, Bel. Aku tahu, kamu pasti salah paham,” ujarnya sembari memegang kedua tanganku. “Kamu mau dengerin aku, kan?”
Seandainya saja, tadi aku tidak menemui Arsy, maka tentunya aku sudah menolak permintaan Vero untuk mendengarkan penjelasannya. Sayangnya, semua kalimat perumpamaan yang diberikan oleh lelaki itu membuatku sadar. Aku tidak bisa terus-menerus dihantui oleh suatu hal yang berpotensi menyebabkan kesalahpahaman.
Arsy benar. Bisa saja apa yang aku lihat tadi mempunyai cerita yang berbeda di balik semua itu. Dan, siapa tahu aku menjadi berubah pikiran saat memaknai kejadiannya.
“Duduk dulu, ya, Ver,” ujarku kepadanya. Aku lantas membuka pintu indekos dan meminta Vero untuk menunggu sejenak. Aku menaruh tote bag di atas kursi ruang tamu, lantas berjalan menuju dapur untuk membuatkan Vero minum. Tak lama kemudian, aku keluar dengan dua cangkir teh hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]
Roman d'amour[ Juara 3 Writing Project Kimbab Publisher ] Setelah sekian lama, Bella Kamala kembali dipertemukan dengan cinta pertamanya, Cavero Lastana. Cinta lama bersemi kembali mungkin adalah julukan yang tepat untuk kedekatan yang kembali terjalin di antara...