“Ar, akhirnya kamu sadar,” ujarku dengan bahagia yang menyelimuti relung hati. Menit-menit yang dipenuhi oleh ketakutan kini seketika sirna tatkala lelaki yang terbaring di hadapanku ini membuka kedua matanya. Tanpa aku sadari, setetes air mata menetes turun begitu saja akibat rasa bahagia yang tak terbendung.
“Cantiknya Arsy jangan nangis,” ujar Arsy yang berhasil melantunkan satu kalimat meski dengan terbata-bata. Tangannya yang tadi kugenggam kini bergerak dan menyentuh permukaan pipiku. Lelaki itu ternyata hendak menghapus jejak air yang turun dari mataku.
“Aku nggak nangis, Ar. Aku bahagia karena kamu udah sadar,” ujarku lantas menyentuh permukaan tangan Arsy yang ada di pipiku. “Kamu jahat, Ar. Kenapa kamu nggak pernah kasih tahu aku soal keadaan kamu? Aku khawatir banget sama kamu, Ar.”
Akhirnya, aku mampu mengeluarkan sebaris pertanyaan yang sedari tadi tertahan.
Lelaki itu tersenyum kecil. “Maaf karena udah bikin kamu khawatir,” ucapnya perlahan.
“Nggak pa-pa. Tapi, janji sama aku kalau kamu nggak bakalan buat aku cemas lagi. Ya?” Aku mengangkat jari kelingkingku ke hadapan lelaki itu. Namun, bukannya membalas dengan jawaban serupa, ia malah melantur kemana-mana.
“Cantiknya Arsy sekarang udah nemuin pangerannya. Tugas Arsy buat jagain kamu udah selesai. Kalau Arsy pamit, jangan nangis, ya.”
Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat. “Nggak boleh. Arsy nggak boleh pamit. Nggak. Aku masih butuh kamu, Ar. Jangan bilang kayak gitu,” ucapku dengan napas yang memburu. Perkataan Arsy yang barusan benar-benar seperti kalimat perpisahan.
“Arsy bahagia karena pernah kenal sama gadis setangguh kamu.” Ia mengelus pipiku perlahan. Mengapa kini setiap kalimat yang diucapkan Arsy terasa berbeda? Atmosfer di ruangan itu pun mendadak berubah 180°.
“Kalau nanti Arsy pergi, jaga diri baik-baik. Jangan—”
“Nggak, Ar. Kamu nggak bakalan pergi. Jangan ngomong kayak gitu. Aku nggak suka,” omelku kepada Arsy yang semakin melantur.
“Kalau kamu butuh teman cerita nanti, kamu bisa sering ke makam Arsy.”
“Ar!” pekikku tanpa disengaja. “Berhenti ngomong kayak gitu. Aku nggak mau kehilangan kamu,” lirihku.
“Ar, bertahan, ya. Aku sama bang Radi bakal upayain buat cepet dapetin donor jantung buat kamu. Kamu harus janji sama aku, gak boleh ninggalin aku.”
Arsy menyunggingkan senyumnya. Namun, kali ini senyuman itu tak mengartikan sebuah kebahagiaan. Lambat laun, senyuman Arsy memudar. Lelaki itu seperti tengah kesulitan menarik napasnya.
“Ar, kamu kenapa? Aku panggilin dokter, bentar.” Aku lantas menekan tombol darurat yang bisa digunakan untuk memanggil dokter. Aku menekannya berulang kali. Namun, baik dokter maupun suster, tidak ada yang segera datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]
Romance[ Juara 3 Writing Project Kimbab Publisher ] Setelah sekian lama, Bella Kamala kembali dipertemukan dengan cinta pertamanya, Cavero Lastana. Cinta lama bersemi kembali mungkin adalah julukan yang tepat untuk kedekatan yang kembali terjalin di antara...