29 - Arsy dan keraguan

44 6 2
                                    

“Bella

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Bella.”

Aku menoleh tatkala mendengar panggilan yang beratasnamakan namaku itu. Ternyata, Bu Elia yang memanggilku. Aku segera menghampiri wanita paruh baya yang kini berdiri di teras rumahnya itu.

“Malam, Bu,” sapaku. Bu Elia membalas dengan hal serupa.

“Habis dari mana, Bel?”

“Oh, itu, Bu. Habis dari rumah temen.”

“Temen apa temen?” tanyanya sedikit menggoda. Dapat kupastikan Bu Elia sudah berdiri di luar sejak Vero mengantarku pulang.

“Temen, Bu,” jawabku apa adanya.

“Iya, deh. Eh, ini keripik kentang untuk kamu. Tadi Nadia kebetulan buat banyak,” ujar Bu Elia lantas menyerahkan kantong plastik berwarna bening itu kepadaku. Aku menerimanya dan langsung tergoda ketika melihat warna keripik kentang itu.

“Wah, terima kasih banyak, Bu. Sampaikan ucapan terima kasih saya juga sama kak Nadia.” Nadia adalah putri dari Bu Elia.

“Kalau gitu, saya permisi ke indekos dulu, ya, Bu. Mau bersih-bersih sekalian istirahat,” ucapku lantas berpamitan kepada Bu Elia. Aku berjalan menuju indekos dan bersiap untuk mandi.

Setelah membersihkan diri di kamar mandi, aku keluar dengan handuk yang melilit rambut basahku. Sengaja kudiamkan selama beberapa menit sembari aku membuka ponselku yang sudah seharian tak kusentuh ketika bersama Vero.

Saat aku tengah asyik menggulir sosial media, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku segera meletakkan ponselku dan beranjak untuk membuka pintu. Sebelumnya, aku sempat melirik jam dinding dengan jarum pendek mengarah ke angka 7. Malam-malam begini, siapa yang mampir ke indekos, ya?

“Arsy?” Aku tersenyum tatkala melihat siapa yang bertandang ke rumah malam ini. Lelaki yang beberapa hari lalu tidak ada di rumah saat kuhampiri.

“Malam, Bel. Aku nggak ganggu, kan?”

Aku menggeleng, sama sekali ia tidak menggangguku. “Kenapa wajah kamu pucat, Ar?”

Pertanyaan itu ialah yang pertama kulontarkan saat bertemu dengan lelaki itu. Wajahnya tidaklah sesegar biasanya. Apa jangan-jangan ia sedang sakit?

“Kayaknya kena udara dingin, makanya gini,” jawabnya.

“Oh gitu. Ayo, masuk, Ar. Nanti kamu malah kedinginan.”

Ia lalu berjalan masuk dan duduk di kursi tamu. Sementara aku membiarkan pintu tetap terbuka. Berjaga-jaga bila ada fitnah yang siap ditebar begitu saja apabila pintu tertutup.

“Kamu mau minum apa? Mau teh hangat?” tawarku. Namun, Arsy menggeleng.

“Nggak usah repot-repot, Bel.”

Aku melangkah dan duduk di sebelah Arsy. “Sejak kapan buatin minum buat tamu itu ngerepotin, Ar?”

Arsy tersenyum kecil. “Sejak aku datang ke indekos kamu,” ujarnya yang membuat aku menepuk lengannya pelan. Ada-ada saja Arsy ini.

Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang