30 - Kesempatan

42 8 2
                                    

Dengan buru-buru aku memasukkan binder dan beberapa pulpen warna-warniku ke dalam tote bag ku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan buru-buru aku memasukkan binder dan beberapa pulpen warna-warniku ke dalam tote bag ku. Aku harus segera mengejar Eisha dan Shafa yang sudah terlebih dahulu keluar kelas. Ini semua gara-gara aku kelamaan mengisi beberapa soal kuis yang diberikan dosen di sepuluh menit terakhir pelajaran tadi.

“Ei, Fa,” teriakku memanggil nama mereka sembari mencoba berjalan setengah berlari. Ah, sial. Aku tidak bisa benar-benar mengejar ketertinggalan langkahku dari mereka sekalipun aku sudah setengah berlari. Di depanku tepat mahasiswa dari kelas 20 keluar, membuat jalanku seketika terhadang oleh kerumunan dari mereka.

Dan, sekarang, aku justru kehilangan jejak mereka. Aku memutuskan untuk mencari mereka di toilet, mengingat arah jalan yang mereka ambil menuju toilet umum FKIP. Namun, semua pintu di toilet terbuka dan tidak ada mereka di dalam sana. Aku menghela napas, kemana Eisha dan Shafa? Padahal, aku ingin sekali memperbaiki hubungan kami dengan menjelaskan kepada mereka.

Aku keluar dari toilet dan berjalan menyusuri koridor. Ujung dari koridor akan mempunyai jalan setapak menuju kantin. Kepalaku sedari tadi tertunduk karena gagal menahan Eisha dan Shafa lebih lama di kelas untuk mendengarkan penjelasanku. Mau kutelepon dan menanyakan keberadaan mereka juga kurasa percuma, sebab pesanku beberapa hari yang lalu tak kunjung dibaca oleh mereka.

Aku mengangkat kepalaku menatap keramaian kantin Yumna dan seolah-olah sebuah cahaya kehidupan menghampiriku. Mataku sontak berbinar tatkala melihat keberadaan Eisha dan Shafa yang tengah menjadi satu di antara keramaian kantin Yumna. Aku memang tidak melihat wajah mereka dengan jelas. Namun, bukankah kita mempunyai insting mengetahui seseorang hanya dari melihat sekilas postur tubuhnya? Itu adalah bukti pertemanan yang telah berlangsung begitu lama, sehingga hanya dari punggung belakangnya saja kamu sudah berani untuk mengakuinya temanmu.

“Eisha, Shafa,” panggilku kepada dua gadis yang kini tengah memunggungiku itu. Kedua gadis itu sontak menoleh. Aku segera melambaikan tanganku kepada mereka sembari tersenyum. Namun sayang, hanya Eisha yang menatapku sedikit lama daripada Shafa. Sepertinya, gadis yang kini memakai kemeja berwarna cokelat muda itu masih marah denganku. Aku menghampiri keduanya yang tengah bercengkrama dengan Razka.

Tunggu sebentar. Sejak kapan Shafa dan Eisha banyak bercengkrama dengan lelaki penyebab kerenggangan hubungan kami itu?

“Ka, aku sama Eisha duluan, ya. Masih banyak hal penting yang harus kami urus,” ujar Shafa tepat saat aku menghampiri mereka. Shafa mengucapkan kata 'penting' dengan penuh penekanan, seolah tengah menyindirku. Kali ini aku tidak mempermasalahkan hal itu karena tujuan utamaku bukanlah mencari masalah baru, melainkan untuk menyelesaikan masalah lama yang sudah berlarut selama beberapa hari.

“Ei, Fa, ada yang pengen aku jelasin sama kalian,” ujarku sembari menghadang langkah mereka. Aku berharap, keduanya dapat melihat raut keseriusanku yang benar-benar ingin menyelesaikan masalah kami.

Love isn't about Perfection [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang