"...Dia cukup pandai menjaga keselamatan, sehingga tidak ada yang terlalu parah. Hanya benturan kecil didahi dan bibirnya, cukup diolesi salep bekasnya akan menghilang. Kalian tidak perlu khawatir, teman kalian baik-baik saja" Setelah menjelaskan kepada mereka dokter tadi pergi. Mereka diizinkan masuk untuk melihat Andin. Azka tidak bisa tenang walaupun sudah mendengar kalau Andin baik-baik saja.
"Kalian dengarkan ada dua suara?" Tanya Azka tanpa mengalihkan pandangannya dari Andin.
"Samar-samar gue denger teriakannya sahut-sahutan" Jawab Carista gemetar. Jantungnya belum bisa tenang. Carista bersyukur Andin baik-baik saja tetapi melihat kejadian tadi masih membuat Carista tak karuan.
"Cewek, gue gak salah dengar" Ucap Azka lagi.
"Sasya?" Ucap Gavina dan Shareen bersamaan.
"Siapa lagi, cuma dia yang selalu cari masalah sama Andin" Sahut Adrian.
"Ya" Sahut Azka singkat. Ia memandang Andin sambil berfikir.
"Gue butuh Reffan" Azka melihat jam didinding, masih pukul 9 pagi. Tidak mungkin ia mengganggu Reffan.
"Kalian pergi kerumah Reffan sekarang, kemarin kita udah janji mau kerumahnya. Jangan dulu bilang ke dia soal Andin, biar gue yang kasih tau" Carista, Shareen dan Gavina berat meninggalkan Andin. Tetapi mereka harus pergi.
Diparkiran Adrian dan Rafa sudah siap dengan motor mereka. Carista tadi menaiki mobil Azka untuk menjaga Andin.
"Gue naik taksi aja" Ucap Carista saat melihat Gavina dan Shareen sudah menaiki motor pasangan mereka.
"Hati-hati Car" Ucap Shareen diikuti Gavina.
****
Didalam kamar seorang perempuan menangis. Kejadian tadi masih teringat jelas olehnya. Bayangan saat Andin jatuh. Meskipun tidak sengaja ia tetap merasa bersalah. Entah kenapa ia sepeduli ini. Entah kenapa ia mau menyiksa diri dengan menangis tak henti-henti. Padahal ia sudah terbiasa, ia terbiasa melakukan perbuatan jahat pada Andin. Tapi kali ini beda, ada perasaan yang mengganjal dihatinya.
Perempuan itu menuruni tangga dengan rasa malasnya saat pembantunya memanggil kalau ada tamu dibawah. Sasya sudah tahu siapa tamunya. Dean. Dean menatap lekat pada Sasya. Sasya bernafas melalui mulutnya, matanya bengkak, bekas air mata terlihat jelas dipipinya. Dan baju sekolah yang terlihat sangat kumal. Pemandangan itu terlihat jelas oleh Dean.
'Ini beneran Sasya?' Tiga kata dengan tanda tanya yang mengusik Dean saat ini.
"Lo mau apa kesini? nyalahin gue lagi? gue udah berani sumpah didepan lo kalau gue gak sengaja" Suara yang memaksakan untuk terdengar tegas tetapi malah gagal. Setiap kata yang Sasya ucapkan dapat terdengar jelas oleh Dean bahwa disetiap kata itu ada ketakutan.
"Gue akan bantu lo nutupin ini, gue akan tetap gak percaya sebelum gue menemukan kebenarannya" Ucapan yang Dean keluarkan berbanding balik dengan apa yang ia fikirkan sedari tadi, bahkan sebelum ia menginjakkan kaki dirumah ini.
"Kenapa lo repot-repot bantuin gue? bukannya tadi lo mau laporin gue?" Padahal Sasya tidak ingin mengucapkan itu, bersyukur Dean membantunya tetapi perasaan kesal masih ada. Ia masih kesal karena tadi Dean begitu tak percaya padanya, oh ya bukan hanya tadi, Sasya melupakan ucapan Dean yang bahkan belum 5 menit terucapkan.
"Tentu gue gak mau repot-repot, tapi setelah liat keadaan lo gue berubah fikiran" Sasya mengusap bekas air matanya.
"Menurut lo kalau gue ngaku--"
"Gak!" Satu kata lolos dari bibir Dean. Kata yang tidak pernah terfikir olehnya. Bahkan belum mendengar sampai selesai pun ia sudah mengeluarkan kata itu. Sasya menatap Dean sekilas lalu ia menatap langit-langit rumahnya yang dihiasi berbagai macam lampu hias.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOUR LOVE
Teen FictionMenceritakan empat sahabat perempuan yang telah berlangsung selama 9 tahun ini. Dan juga pertemuan dengan keempat sahabat laki-laki di sekolah mereka . Pertemuan mereka disekolah hanya sebatas berpapasan seperti siswa-siswi pada umumnya. Lalu pada...