Selesai memasang plester, pada luka di tangan Jefri. Alisa masih menatap Jefri, dengan perasaan bersalah yang tidak bisa ia sembunyikan, sementara Jefri hanya menatapnya datar. Alisa memeluk Jefri, menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Jefri. air mata Alisa, sudah mengumpul di pelupuk mata lagi.Jefri menarik nafas panjang, Ia ingin membuat Alisa, merasakan perasaan yang Ia rasakan selama ini. Yaitu perasaan bersalah sepanjang hari, karena kebodohannya. Tapi Jefri tidak tahan, melihat Alisa yang terus menangis. Ia membalas pelukan Alisa mengelus pundaknya, yang tertutup rambut panjangnya, perlahan.
"Nggak papa, semuanya udah beres. Aku udah maafin kamu" ujar Jefri, lembut.
Lama Alisa memeluk Jefri, dan baru melepaskannya setelah lega. Alisa menghapus sisa air mata, di wajahnya.
Alisa tiba-tiba merasakan perih di kakinya. Padahal Ia terluka sejak tadi, tapi baru terasa perih sekarang. Mungkin, karena tadi ia terlalu mencemaskan Jefri, hingga melupakan lukanya sendiri.
Jefri yang melihat Alisa tampak meringis kesakitan, menatapnya bingung. "Kenapa?"
Alisa tidak menjawab, tapi tatapan matanya menatap kakinya. Jefri dengan dahi mengkerut, mengikuti arah pandang Alisa. Dan seketika Jefri melebarkan matanya, ia melompat turun dari atas kasur, untuk memastikan kaki Alisa, yang berdarah-darah.
"Alisa, kenapa ini?" Jefri berjongkok di depan Alisa, tangannya, mengangkat kaki Alisa, dan saat itu Ia tau, telapak kakinya terkena pecahan kaca, di dapur tadi. Dan Jefri melihat lantai, yang sudah terdapat bercak darah dari jejak kaki Alisa. Kenapa Jefri tidak memperhatikannya? Dan baru menyadarinya sekarang?
Alisa mengigit bibir bawahnya, menahan perih, saat Jefri berusaha mengeluarkan pecahan kaca, yang tertancap, di telapak kakinya.
"Kenapa bodoh banget sih Alisa, ceroboh banget tau nggak?" Jefri mengoceh, sembari mengobati luka, di kaki Alisa. Jefri mencerca Alisa, bukan karena ia tidak ikhlas mengobati luka Alisa, Jefri hanya tidak tega melihatnya.
"Sakit?" Tanya Jefri, walaupun terdengar kesal, tapi Ia tidak menyembunyikan kekhawatirannya.
Alisa menggeleng, "enggak" jawab Alisa, Alisa takut jika ia menjawab iya, Jefri semakin memarahinya.
Jefri berdecak, "jangan bohong, ini pasti perih" dengus Jefri, sembari menumpahkan antiseptik di atas luka Alisa.
"Ahh" Alisa tidak bisa menahan rintihannya, rasanya semakin perih, saat Jefri melakukan itu.
"Tahan, ini biar luka kamu cepet kering"
Alisa mengangguk, mengikuti apa yang Jefri katakan. Matanya tidak lepas, dari Jefri yang kini melilitkan perban di kakinya.
"Kamu istirahat aja, biar aku panggil orang, buat beresin dapur" ujar Jefri, setelah selesai mengobati Alisa.
*****
Jefri pikir, dengan membuat Alisa mengundurkan diri dari pekerjaannya, sudah cukup menyelesaikan kekhawatirannya perihal Dava. Ternyata mereka masih memiliki banyak cara, untuk terus berkomunikasi. Jefri mendengus, mengingat Alisa yang mencoba menghubungi Dava, entah untuk apa, membuat Jefri kehabisan akal.
Jefri manatap Alisa, yang sudah tertidur di dadanya, sembari memeluk perutnya. Ia mengelus rambut panjang Alisa. Semakin kesini, Jefri semakin menyadari perubahan Alisa. Alisa yang biasanya selalu penurut, dan tidak banyak membantah, akhir-akhir ini mulai berani menantangnya, dan melayangkan banyak protes, bahkan mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya, Ia katakan.
Dulu, sikap Alisa sangat jelas, dan Jefri dengan mudah, menebak perasaannya. Sekarang jangankan perasaannya, apa yang ada di kepala Alisa saja, Jefri mulai tidak bisa membacanya. Alisa yang naif, dan mudah diatur, kini menjelma menjadi seseorang yang mengejutkan, dan tidak terduga.

KAMU SEDANG MEMBACA
LOCKED (End)
RomanceDimata Jefri, Alisa adalah miliknya. Alisa adalah wujud wanita yang paling cocok dengannya, tanpa ia sadari ia sendiri yang memaksa Alisa menjadi wanita idealnya. Jefri yakin, Alisa tidak akan meninggalkannya, karena wanita itu amat mencintainya, ta...