20. Flat Shoes

6.1K 473 150
                                    

"Kalau gitu, ayo Kita segera menikah"

Alisa tercekat, mendengar ucapan Jefri. Ia memang mencintai Jefri, ingin berada disisinya untuk saat ini. Tapi menikah, menyerahkan sisa hidupnya pada hidup Jefri, apa Alisa bisa? Membayangkannya saja, sudah membuat Alisa trauma.

"Alisa?" Panggil Jefri, saat tidak mendapat jawaban, dari Alisa.

"Aku belum kepikiran sampai situ, Jef" ujar Alisa pelan.

"ya udah pikirin aja mulai sekarang, mau nikah yang kayak gimana" ujar Jefri santai. Lalu kemudian terlintas sesuatu di pikirannya. Ia menatap Alisa curiga, "kamu emangnya mau, kita pacaran terus?" Ujar Jefri, matanya menelisik wajah Alisa, yang tampak gundah. "Atau kamu nggak mau, nikah sama aku?"

Alisa gelagapan, saat Jefri dengan tepat, menebak isi kepalanya. "Bukan itu maksud aku," Alisa berusaha mencari alasan yang masuk akal, untuk menolak keinginan Jefri. "Aku rasa, kita belum siap, untuk kearah itu" Alisa akan yakin menikah dengan Jefri, jika Jefri menunjukkan perubahan yang sebenarnya.

Jefri mendengus, "Kita?" Tanya Jefri, meyakinkan ucapan Alisa. "kamu kali, aku siap kok"

Alisa menelan ludahnya, wajahnya seketika tampak cemas. Bagaimana mengatakannya, bahwa Ia takut menikah dengan Jefri. Jefri yang melihat perubahan ekspresi Alisa, langsung mengetahui apa yang ada di pikirannya, saat ini.

"Kenapa Al?"

Alisa menatap Jefri, dengan tatapan gelisahnya, lalu Ia memberanikan diri untuk mengangguk, "iya, aku yang nggak siap Jef"

Jefri tediam, mendengar jawaban Alisa, lalu Ia mendengus. Jefri menarik lengannya, yang menjadi bantalan Alisa, membuat Alisa mengangkat kepalanya, supaya Jefri bisa menarik lengannya, dengan mudah.

Jefri duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam. Alisa belum siap, Jefri yakin, itu hanya alasan. Yang sebenarnya adalah, Alisa tidak mau menikah dengannya. Jefri sempat ingin marah, tapi kemudian Dia menenangkan dirinya sendiri. Mau, atau tidak, Alisa menikah dengannya, keputusan, tetap ada di tangannya.

"Aku tidur di ruang tamu" Ujar Jefri dingin, moodnya langsung berubah, dengan perkataan Alisa. Jefri bernajak dari duduknya, dan berjalan keluar kamar, Jefri menutup pintu dari luar dengan keras, membuat Alisa yang ada di dalam, berjingkat.

Alisa menarik nafas panjang, lebih baik seperti ini, daripada Jefri terus mendesaknya untuk membicarakan pernikahan konyolnya. Besok pagi, biasanya Jefri akan membaik, dengan sendirinya.

*****

Sepulang kerja, Jefri tidak langsung pulang, Ia mampir ke tempat gym langganannya. Awalnya, Ia menelpon Alisa, untuk memintanya menemaninya kemari, tapi Alisa menolak dengan alasan capek. Entah hanya alasan, atau memang benar, tapi Jefri tidak memaksa. Ia membiarkan Alisa, tetap berada di apartemennya.

Jefri tengah berlari di atas treadmill, yang sudah ia setting dengan kecepatan, yang masih bisa Ia kejar. Hampir setengah jam, Jefri berlari di atas treadmill, keringat mulai membanjiri tubuhnya, yang atletis. Tapi ia masih tidak ingin berhenti. Walau Ia tampak fokus berolahraga, tapi sebenarnya ada yang mengganggu pikirannya, sejak beberapa hari belakangan ini.

Jefri mematikan treadmillnya, sekarang Ia benar-benar tidak bisa fokus, dengan ini. Ia berjalan ke kamar mandi, sembari mengelap keringat, di sekitar wajahnya. Ia membuka keran di wastafel, mencuci kedua tangannya, lalu hanya menatap pantulan dirinya di cermin, yang ada di depannya, tanpa mematikan keran wastafel, yang menyala. Entah apa yang mengganggu pikirannya, yang pasti Jefri tidak bisa, menyembunyikan kegelisahannya.

LOCKED (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang