03. Makan Malam

39 13 14
                                    

"Kau penyusup rumah Yuta! Pasti kau semalaman..." belum sempat Tamaki berbicara secara lengkap. Sebuah tamparan keras mendarat mulus ke pipi Tamaki hingga bekas tamparan Ena, membekas merah di sana.

Plak!

Sorotan mata tajam Ena terlihat jelas,  kedua alisnya menyatu dan giginya menggertak kesal. Bahwa pria asing yang masuk ke rumah Yuta seenaknya menuding yang tidak-tidak.

"Dasar pria mesum!" teriak Ena.

"Kau yang mesum! Kenapa kau berada di rumah Yuta?! Diam-diam ha!" jawab Tamaki ngegas masih tidak terima dengan omongan Ena.

  Suara gaduh tersebut sampai terdengar di belakang dimana Yuta ingin bersiap-siap pergi bekerja ke rumah sakit. Ia yang menatap pantulan bayang di hadapan cermin, menghela nafas kasar mendengar suara gaduhan Ena dan pasti pria itu adalah Tamaki.

'Tamaki memang selalu datang kesini membuatkan ku sarapan.' batin Yuta melangkah menuju ke dapur, tempat mereka berdua berkelahi seperti anak kecil.

   Yuta sudah berdiri diambang pintu melihat perkelahian mereka berdua masih dilanjutkan. Mereka berdua sama sekali tidak menyadari keberadaan Yuta. Sebelum akhirnya deheman terdengar begitu jelas membuat pertengkaran adu mulut terhenti dan menoleh ke belakang melihat Yuta memasang senyuman sumringah di bibirnya.

   Pria itu melihat pipi Tamaki memerah sebelah seperti bekas tamparan seseorang. "Sudah berkelahinya?" tanya Yuta.

"Yuta! Siapa wanita ini? Kenapa bisa berada di rumahmu? Dia tidak melakukan apapun kan?" tanya Tamaki bertubi-tubi dan masih menaruh curiga. Wanita itu melirik sinis pria di sampingnya, yang seenaknya berbicara tidak-tidak.

Memang pekerjaan Ena berada di bar, bekerja pada malam hari dan melayani pengunjung dengan make up sedikit menor. Rasanya pekerjaan itu sudah menyatu dalam diri Ena. Namun, kejadian malam kemarin membuat Ena jengah dan rasanya ingin bunuh diri dengan perlahan.

   Ena menatap pria yang kemarin malam datang menyelamatkannya meski ia usir berapa kali pun. Ia akan teguh dengan pendiriannya untuk menyelamatkan nyawa Ena. Merasa ia memiliki hutang budi ke Yuta, berkat Yuta merawatnya semalam. Hari ini tubuh Ena mulai enakkan dan bisa bergerak bebas tanpa ada demam serta nyeri.

"Itu Ena, wanita kemarin malam yang aku temui saat pulang kerja. Dia kedinginan dan sedikit demam. Mau tidak mau, aku menolongnya. Kau tahu kan?" jawab Yuta sedikit dingin. Hati Yuta suka sering berubah-ubah karena lingkungan.

"Eh? Kau dingin sekali, Yuta. Tidak seperti biasanya." kata Tamaki seolah menyadari sifat Yuta yang sering berubah-ubah, ia menoleh ke wanita yang menatapnya tidak suka.

'Mungkin karena wanita asing ini. Suasana hati Yuta tidak menentu.' batin Tamaki.

'Pria ini kenapa sih? Menatapku kayak gitu. Rasanya pengen nampar lagi.' batin Ena membuat sarapan yang sebentar lagi akan matang.

  Setelah perdebatan kecil tadi akhirnya mereka bertiga sarapan bersama tanpa ada pembicaraan sedikit pun. Tamaki sesekali melirik wanita di sampingnya, sinis. Yuta sama sekali tidak menggubris tatapan tidak suka Tamaki pada Ena.

  Sarapan sudah habis dan Yuta bangkit berdiri, ia melihat ke Ena dan berkata,"kalau kau udah enakkan. Sesuai kata-kataku semalam, kau bisa keluar dari sini. Sesukamu mau pergi ke mana." Kata Yuta mengusir halus Ena.

Tentu saja, Ena terkejut mendengarnya dan memang benar. Apa yang dikatakan oleh Yuta, "itu...aku belum bisa pergi karena aku belum tahu, aku harus pergi ke mana. Lagipula aku sudah tidak memiliki apapun." Kata Ena jujur. Semenjak kejadian semalam, kejadian buruk terus menimpanya sampai-sampai wajahnya lebam serta kedinginan di malam hari.

Black Hawk [The End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang