06. Surat Teror

29 9 0
                                    

  Suara derap kaki terus terdengar begitu nyaring, Yuta terus berlari menuju ke rumah. Bayangan yang tidak-tidak perlahan datang ke dalam benaknya. Ia sudah sampai ke rumah dan langsung membuka pintu mencari Ena.

"Ena! Ena! Kau ada dimana?!" teriak Yuta khawatir mencari keberadaan wanita itu.

"Yuta kun!" balas Ena dengan berteriak juga. Pria itu segera menuju ke tempat Ena, di ruang belakang.

Wanita itu duduk di lantai meluruskan kaki yang terluka kena serpihan kaca. Kedua mata Yuta terbelalak melihat jendela rumah rusak parah, tidak jauh dari sana terdapat batu dengan ikatan tali usang. Yuta menghampiri Ena yang masih shock atas insiden ini.

"Apa yang terjadi?" tanya Yuta mencoba untuk tenang dan mencoba friendly dengan Ena. Jika mendengar omongan Tamaki tadi.

Ia tidak akan mengusir Ena begitu saja dari rumahnya. Mengingat, pertemuan malam yang dingin kemarin malam membuat rasa kasihan, menghampiri Yuta. Ena mencoba untuk tenang dan sedikit menekuk-kan kaki, rasa nyeri luka kecil itu ia tahan sekuat mungkin. Menoleh ke Yuta yang memandang datar.

"Tidak perlu menyembunyikan rasa sakit padaku. Aku tahu, kau akan menangis bukan? Seperti di telfon itu." kata Yuta jujur banget. Ena mendelik mendengar tebakkan yang benar itu, ah—memang Ena sangat cengeng dan dramatis. Bisa kah? Ia sekali mengerjai Yuta dengan phobianya? Selama ini ia belum menemukan phobia pria di sampingnya. Yang di pandangan Ena, Yuta adalah pria dingin yang diam-diam peduli.

Tsundere.

"Nanti aku bakal mengobati lukamu." kata Yuta bangkit berdiri dan Ena hanya diam memandang punggung tegap pria di hadapannya ini.

Netra hijaunya menatap batu yang telah merusak kacanya. Kalau begini, siapa yang bakal menanggung kerusakan rumah ini jika rumah yang Yuta tinggal akan roboh akibat orang tidak bertanggung jawab. Di ambilnya batu itu dan melepaskan tali yang terikat di batu tersebut.

Kertas yang terlipat rapih dengan cepat dibuka oleh Yuta. Ekor matanya bergerak ke kanan kiri membaca isi surat tersebut. Ena sangat penasaran, apa yang tertulis di kertas tersebut. Kedua alisnya bertaut, penasaran. Yuta sedikit menjauhkan surat tersebut jauh dari pandangannya lalu meremas kertas itu dengan satu genggamannya.

   Air mata tiba-tiba menetes di genggaman tangan Yuta, surat itu—surat teror yang menuliskan tentang perintah untuk membuat obat tertentu. Koran yang ia baca semalaman saat terbangun dari tidur mulai menghantui benak Yuta dan belum lagi percakapan makan malam bersama Dokter Asahi dan juga Tamaki yang menemaninya.

  Ini membuat firasat buruk menyerang diri Yuta. Ia membuang kertas teror itu ke dalam tong sampah dan besok ia akan menemui Dokter Asahi di apartemen untuk membahas hal ini. Selama ini, Yuta tidak pernah mendapatkan teror surat seperti ini dan Dokter Asahi tiba-tiba izin tidak hadir di rumah sakit.

Apa ini janggal? Atau kejadian buruk akan terjadi ke Yuta.

Ena mendongak melihat Yuta membuang surat tersebut. "Kenapa dibuang? Apa isinya?" tanya Ena kepo.

"Jangan dipikirkan isi surat itu. Orang yang tiba-tiba melemparkan batu hanya bercanda, tidak ada yang penting." jawab Yuta cepat dan mengambil barang yang diperlukan seperti alat pembersih serta kotak P3K.

  Ena berusaha untuk mengobati lukanya sendiri. Namun, Yuta tidak memperbolehkan Ena dan membiarkan Yuta mengobati luka yang bisa dikatakan ringan. Setelah selesai, Ena membantu Yuta membereskan serpihan kaca jendela. Akibat kaca jendela rusak, hembusan angin malam masuk ke dalam rumah Yuta sehingga membuat rasa dingin mulai menyerang.

  Sampah sudah terisi oleh serpihan kaca dan Yuta segera menelfon seseorang untuk membenahi jendelanya. Ia menatap Ena sejenak, "aku ingin berbicara sesuatu padamu." kata Yuta serius.

Black Hawk [The End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang