Chapter 23

15 7 0
                                    

Ketika tersadar dari rasa terkejutnya, Fatimah lansung berdeham untuk mengurangi rasa gugupnya.

“Apaan sih? Biasa aja kali, bikin malu aja kamu bilang gitu.” gumam Fatimah menghindari tatapan Ali kepadanya.

Ali tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada sebuah ayunan yang lebih tepatnya ada 2. Pantesan saja tempat ini sering dibilang romantic plate.

“Ke ayunan sana yuk!” ajak Ali tanpa menggenggam tangan Fatimah dengan alasan bukan muhrimnya. Fatimah pun menyadari itu hanya bisa mengiyakan dan mengikuti langkah kaki Ali menuju ayunan tersebut.

Merekapun lantas menduduki ayunan itu di tempatnya masing-masing. Fatimah mulai mengayunkan-ngayunkan ayunan itu, Ali yang diam-diam memerhatikannya hanya bisa tersenyum.

Ali menatap langit-langit biru yang begitu cerah, dia tersenyum bahagia mengingat bagaimana dirinya pertama kali bertemu dengan Fatimah dan bagaimana dia sudah bertunangan dengan gadis yang kini berafa di sampingnya.

“Rasanya kayak mimpi ya bisa jadi tunangan kamu.” ucap Ali masih tidak mengalihkan pandangannya.

Fatimah yang mendengar itu lansung berhenti dan menatap wajah Ali dengan kebingungan.

“Maksud kamu apa?” tanya Fatimah.

Ali menoleh kearah Fatimah dan menatapnya dengan instens.

“Rasanya kayak mimpi bisa jadi tunangan kamu sekarang ini.” ucapnya membuat Fatimah tertegun sekaligus salah tingkah.

Ali kembali tersenyum, hatinya bahkan sangat bahagia bisa bersama dengan orang yang dia cintai itu.

“Dulu aku pernah menyukai perempuan yang sama seperti kamu. Tapi... Dia tidak menyukai balik dan malah menganggapku sebagai teman biasa. Padahal dengan sepenuh hati aku selalu berjuang untuk dapetin cintanya.” jelas Ali. Fatimah hanya diam menyimak dan setia mendengarkan cerita dari tunangannya itu, meskipun hati kecilnya terasa sakit karena cemburu.

“Tapi sekarang aku udah punya tujuan pasti dalam hidup aku...” sambung Ali membuat Fatimah lantas menoleh dengan wajah penasaran.

“Yaitu membahagiakan kamu dengan sisa hidup aku.” ucap Ali dengan senyuman yang begitu tulus. Dan entah kenapa Fatimah hanya bisa diam memerhatikan wajah Ali, mulutnya seakan terkunci untuk sekedar mengatakan iya untuk Ali.

Ali kembali memalingkan wajahnya dan menatap langit-langit biru yang begitu cerah. Fatimah yang memerhatikannya membuka suara setelah sekian lama berdiam.

“Tapi aku bukan perempuan yang sempurna, aku perempuan penyakitan dan mungkin hidup aku nggak bakal lama lagi Al.” ucap Fatimah membuat Ali terkejut dan menoleh menatapnya dengan nanar.

“Kamu nggak boleh ngomong begitu, aku tulus menerima kamu apa adanya. Kita akan selalu bersama dan melawan penyakit itu. Aku yakin pasti ada jalan keluarnya.” balas Ali dengan penuh keyakinan. Fatimah diam setelah mendengarnya.

Memang begitulah faktanya, penyakit yang diderita Fatimah berefek samping ke saraf otaknya dan mungkin akan lebih parah dari itu. Namun Fatimah tidak ingin menceritakannya kepada umi dan orang-orang terdekatnya. Dia tidak ingin mereka terlalu khawatir kepadanya dan membuatnya tidak puas menghabiskan sisa waktu hidup dirinya.

“Kamu mau beli apa? Biar aku belikan!” ucap Ali, tetapi ketika melihat wajah Fatimah seperti melamun dia lansung menyadarkannya.

“Fatimah!” panggil Ali dengan menepuk pundak perempuan di sampingnya itu.

“Ah.. I.. Iya kenapa?” tanya Fatimah dengan kebingungan. Pasalnya dia sedang asyik melamunkan sesuatu.

Ali tersenyum lalu dengan sabar mengatakan perkataannya kembali.

“Kamu mau beli apa? Biar aku belikan.” ucapnya dibalas gelengan kepala dari Fatimah.

“Nggak usah kok, aku ngajak kamu buat ngilangin rasa bosan doang bukan mau makan.” tolak Fatimah dengan nada halus.

Ali mengangguk paham. Merekapun dengan santainya menikmati keindahan taman tersebut dan sesekali mengobrol kecil. Hembusan angin semilir menambah indah suasana di tempat itu.

Tetapi karena asyik mengobrol tanpa disadari seorang berjubah hitam berada di belakang mereka sudah siap dengan sebilah pisau yang berniat untuk mecelakai salah satu dari mereka. Fatimah yang tidak sengaja melihatnya lansung terkejut dan lansung melindungi punggung Ali yang hampir saja ditusuk oleh pisau tersebut. Alhasil punggung Fatimah lah yang menjadi penggantinya.

Melihat itu Ali lansung terkejut terlebih lagi darah segar yang mengalir dari punggung Fatimah. Dengan sigap Ali memapah tubuh Fatimah dengan cepat.

“Fatimah! Kamu.... Kamu ke... Kenapa ngelakuin ini?” tanya Ali menahan isakan tangisnya ketika melihat wajah Fatimah yang mulai memucat. Darah tiba-tiba keluar dari mulut Fatimah, sesak di dadanya semakin menjadi-jadi sedangkan perih di punggungnya tidak bisa dijelaskan lagi bagaimana sakitnya itu.

Ali mendongak menatap orang tersebut, ingin sekali dia menghampirinya dan lansung memukuknya namun orang itu lebih dulu pergi.

Tanpa basa-basi Ali lansung membopong tubuh Fatimah ke dalam mobilnya dan beranjak menuju ke rumah sakit terdekat agar Fatimah tidak kehilangan banyak darah. Sepanjang perjalanan Fatimah hanya bisa meraung kesakitan, tangannya ia coba menutupi punggungnya itu.

Namun tubuhnya tidak kuat menahan sakit itu semua dan menyebabkan dirinya pingsan secara tiba-tiba. Dan hal itu tentu membuat Ali semakin khawatir dan mempercepat laju mobilnya.

“Bertahan Fatimah, kamu pasti kuat!” batin Ali sangat mengharapkan itu terjadi agar Fatimah bisa tetap selalu bersamanya.

***

Suasana rumah sakit begitu sunyi, hanya ada suara kecil seseorang yang tengah mondar-mandir ke ruangan satu dan ruangan lainnya. Ali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan merasa sangat pusing. Sedangkan Khadijah sedang ditenangkan oleh Diana yang merupakan istri dari Varo. Syarah dan Abraham hanya diam merasa prihatin dan berharap sesuatu yang aneh tidak terjadi pada menantunya.

Sudah 2 jam lamanya mereka semua menunggu hasil dari pemeriksaan terhadap Fatimah, namun dokter tidak kunjung keluar dan membuat semuanya tampak begitu khawatir.

Tidak kunjung begitu lama, akhirnya dokter keluar dan diikuti oleh beberapa suster yang membantunya tadi. Seketika Ali berdiri dan menghampiri dokter tersebut.

“Bagaimana dok keadaan tunangan saya?” tanya Ali begitu khawatir.

Dokter itu lantas menghela nafas sebentar dan melepas kacamatanya memerhatikan wajah Ali dan semua orang yang menunggu kabar dari Fatimah.

“Ananda Fatimah kehabisan banyak darah, dan gejala sesak nafasnya kembali kambuh sehingga berakibat fatal pada sarafnya.” dokter berhenti menjelaskan, lalu kembali melanjutkan perkataannya.

“Fatimah untuk sementara dinyatakan koma. Mungkin jika penyembuhannya lebih cepat, maka koma-nya hanya beberapa hari. Saya permisi dulu!”

Dokter tersebut lansung melenggang pergi, sejujurnya dokter itu juga tidak tega mengatakan itu. Tapi apalah daya, itu memang sudah kenyataan yang sudah tidak bisa ditutup-tutupi.

Setelah melihat kepergian dokter itu, Ali lansung menerobos masuk ke ruang rawat Inap Fatimah. Disana tampak seorang perempuan yang sedang tertidur lelap dengan selang infus di sampingnya. Perlahan kaki Ali melangkah menghampiri tempat dimana Fatimah terbaring lemah.

Senyuman Ali mengembang, tangannya kini menyentuh tangan Fatimah yang terasa dingin. Tanpa disadari air matanya mengalir, entah sejak kapan Ali tidak menyadari hal itu.

“Cepat bangun sayang, aku butuh kamu dalam hidup aku.” ucap Ali dengan nada parau diiringin isakan tangisnya.

“BERSAMA MENUJU CINTANYA”
•••••

#Next Chapter?
#Jangan lupa voment-nya!

Bersama Menuju Cintanya ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang