“Maksud kamu apa?” tanya Alfin tidak mengerti apa yang telah dibicarakan oleh tunangan sahabatnya ini.
Lantas Ali melempar bukti yang dia bawa sehingga mengenai sepatu milik Alfin. Seketika Alfin mengambilnya dan menatap barang tersebut.
“Maksud kamu apa itu? Barang yang tertinggal di tempat kejadian tertulis nama kamu.” ucap Ali penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Alfin terkejut dan menatap setiap inci barang tersebut. Memang benar apa yang dikatakan Ali, barang ini adalah gelang persahabatan dirinya dengan Fatimah. Tetapi kenapa bisa berada di tempat kejadian, sedangkan dirinya masih dikurung oleh pencuri itu.
“A.. Aku bisa jelasin Al, memang ini milik aku. Tapi sumpah demi allah, aku nggak pernah ada niatan untuk mencelakai seseorang apalagi Fatimah adalah sahabatku sendiri.” bela Alfin pada dirinya sendiri. Memang terkesan mengelak tetapi itu adalah hal fakta dan Alfin tidak terbiasa dengan kebohongan yang dia ucapkan itu.
Ali menghela nafas lelah, dia menatap wajah Alfin. Tidak ada kebohongan dibalik wajah Alfin, tetapi mengapa dirinya masih tetap ragu?
Tiba-tiba Alfin teringat ponselnya yang berisi bukti para pencuri tersebut. Lantas dia mengeluarkannya dan memberikannya kepada Ali.
“Ini bukti pencuri yang udah menculik aku akhir-akhir ini, mereka juga yang menjadi pelaku dibalik kejadian yang menimpa Fatimah. Dan pasti kamu bertanya-tanya mengapa aku menghilang waktu kejadian itu kan?”
Ali menerimanya dan menatap foto itu yang terlihat buram hanya tersisa wajah keduanya. Namun tidak begitu jelas, hanya posisi keduanya yang haram untuk dilihat.
Ali menatap wajah Alfin dengan bertanya-tanya kenapa?
“Mereka yang menculik aku, namun itu sebelum kejadian berlansung. Dan tanpa disadari aku masuk ke perangkap mereka dimana disaat semua rencana mereka terbongkar, mereka akan menyalahkanku sama pada saat ini.” jelas Alfin lalu mengambil kembali ponselnya dan menaruhnya di kantong celananya.
“Aku harap kamu bisa menemukan pelaku itu secepatnya, dan kalau boleh aku bisa juga ikut membantumu.” ucap Alfin seraya meninggalkan Ali yang berdiri mematung menatap kepergiannya.
Setelah melihat pungung Alfin yang menghilang di belokan, Ali menatap langit-langit biru dengan wajah penuh harapan.
“Semoga aku bisa menepati janjiku Fa untuk menemukan pelaku dibalik apa yang telah terjadi pada kamu.” batin Ali.
***
Ali menatap bangunan tua itu, semuanya terlihat lebih angker dari perkiraannya. Tidak tahu bagaimana rasanya Alfin dikurung dalam tempat ini.
“Ini bener tempatnya Fin?” tanya Ali menoleh menatap wajah Alfin yang sepertinya masih trauma. Jika pelakunya masih ada di dalam, Ali sudah siap membawa polisi tetapi dengan waktu yang sudah ia perkirakan.
Alfin mengangguk, setelah itu barulah Ali mulai melangkahkan kakinya menuju ke dalam bangunan tua itu. Sama seperti biasanya, banyak sarang laba-laba serta barang yang sudah rusak dan tidak lupa baunya begitu menyengat ke penciuman milik Ali ataupun Alfin.
“Hati-hati Al, mungkin mereka sudah bersiap-siap melawan kita dari segala arah.” bisik Alfin tidak membuat nyali Ali menciut dan terus berjalan mencari keberadaan si pelaku itu.
“Fin, Kalo aku udah teriak nama Fatimah. Kamu lansung keluar dan hubungi polisi, oke!” perintah Ali. Entah kenapa Alfin mempunyai firasat buruk yang akan terjadi pada Ali.
“Ta.. Tapi Al..” ucap Alfin terpotong oleh ucapan Ali kepadanya.
“Aku mohon Fin, setidaknya kamu selamat dan bisa menjaga Fatimah.” ucapnya lirih namun wajahnya masih tetap tersenyum menguatkan dirinya sendiri. Tetapi mata tidak pernah berbohong, Alfin dapat melihat jelas bagaimana resah nya Ali.
Alfin mengangguk dan membiarkan Ali berjalan menelusuri di setiap ruangan di bangunan itu. Sementara itu Alfin segera melindungi dirinya dengan bersembunyi dibalik tumpukan barang yang sudah usang.
“Aku harap kamu selamat Al.” batin Alfin penuh harapan untuk laki-laki yang kini menjadi tunangan sahabatnya itu.
***
Perasaan kembali was was karena keadaan semakin mencekam dan minim cahaya. Ali sudah pasang diri dan siap untuk melawan, namun jika dia gegabah maka semuanya tidak akan berjalan sesuai harapannya.
Kreik....
Ali terdiam begitu terdengar suara itu, perlahan suaranya semakin nyaring sehingga sebuah tusukan batu mengenai punggungnya. Pusing dan semua penglihatannya buram, tetapi Ali tidak lupa akan pesannya itu. Dengan sisa kesadarannya Ali berteriak.
“Fatimah!” teriaknya terngiang-ngiang dalam bangunan itu sehingga sampai pada telinga Alfin. Begitu mendengarnya, Alfin segera berlari keluar dan menghubungi polisi secepat mungkin.
Laki-laki itu terkejut dengan teriakan yang menjadi sasarannya itu. Sedangkan perempuan yang mengikutinya juga ikutan terkejut.
Perlahan cahaya mulai sedikit menerangi ruangan itu, betapa terkejutnya ketika melihat Ali tergeletak dengan darah bercucuran dari pungungnya.
“Ali!” pekiknya dengan menghampiri dan memeluk tubuh laki-laki itu.
“Ali bangun... Bangun jangan kayak gini... Bangun Ali...” ucapnya menepuk-nepuk pipi laki-laki itu dengan tangis terisak.
“Aidan! Kenapa lo lakuin ini ke dia hah?!” ucapnya masih dengan tangisan pecah, sungguh dia tidak pernah menduga bahwa ia akan mencelakai seseorang yang dia cintai.
“Gu.. Gue nggak tau kalo dia Ali Zah.” ucap Aidan dengan terbata-bata. Bantu yang dia pegang refleks terjatuh dan membuat tangis perempuan itu semakin menjadi-jadi.
“Gue nggak mau kehilangan lo Al, bangun... Sorry udah ngebuat lo kayak gini...” ucapnya kembali sungguh menusuk hati Aidan. Dia rela melakukan hal bejat seperti ini, mengapa perempuan itu harus memilih laki-laki lain?
Tiba-tiba karena terbawa suasana, mereka tidak menyadari bahwa polisi sudah datang dan mengunci setiap jalan keluar mereka.
“Itu mereka pak pelakunya!” ucap Alfin setengah berteriak dan membuat Aidan dan Zahra terkejut sehingga refleks menoleh menatap segerombolan polisi itu. Dengan langkah cepat mereka pun akhirnya tertangkap dengan sedikit memberontak.
Alfin yang melihat jelas siapa perempuan itu lansung terkejut tidak menyangka pelakunya itu adalah sahabat kecil Fatimah.
“Zahra?!” ucapnya dengan syok.
Zahra menunduk, tangannya kini di borgol oleh polisi. Dia masih menangis meskipun kini tanpa suara.
“Maafin gue Fin.” ucap Zahra dengan nada lirih. Dia sangat menyesali semua perbuatannya itu. Tidak dapat dibayangkan bagaimana kekecewaan Fatimah kepadanya karena telah menghianati persahabatan yang mereka jalin selama 15 tahun lamanya.
“Gue nggak nyangka Zah, cewek yang lembut kayak lo bisa jadi cewek yang keji dan ngehianatin persahabatan yang lo bangun sendiri.” ucapnya dengan kekehannya.
“Dan untuk lo...” Alfin menuding Aidan dengan tatapan dinginnya.
“Gue emang nggak kenal lo, tapi gue harap lo bakal nyesel seumur hidup karena udah ngelakuin hal keji!” sambung Alfin membuat hati Aidan bagai tertusuk oleh tombak besar.
Zahra terdiam dan kini sedang diseret untuk dibawa ke kantor polisi beserta Aidan.
“Terimakasih sudah membantu kami pak.” ucap Alfin dibalas anggukan kepala dan senyuman dari pak polisi.
Setelah melihat kepergian polisi itu, Alfin menoleh dan terkejut melihat Ali yang tergeletak dengan darah yang terus mengalir. Refleks Alfin menghampirinya dengan penuh kekhawatiran.
“Ali! Bangun Al... Jangan mati Al... Fatimah masih butuh kamu... Ali!” teriak Alfin semakin menggema di seluruh ruangan bangunan tua itu.
“BERSAMA MENUJU CINTANYA”
•••••#Next Chapter?
#Jangan lupa voment-nya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Menuju Cintanya ( Completed )
Teen Fiction( Disarankan follow sebelum membaca ) Bagaimana rasanya menyukai seseorang dalam diam? Menyenangkan tetapi harus selalu sabar dalam menghadapi kenyataan bahwa orang yang disukainya ternyata telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Namun tiba-tiba...