Semua menunggu di depan ruang inap Fatimah. Khadijah yang merupakan umi dari Fatimah sudah seperti orang linglung dengan tangisnya. Dan yang lainnya hanya bisa diam dan berharap tidak terjadi apa-apa pada Fatimah.
Lain halnya dengan Ali, dia sejak tadi mondar-mandir di depan pintu bertulisan Ruang inap tersebut . Dia tidak bisa duduk tenang seperti yang lainnya, pikirannya hanya ada Fatimah dan Fatimah.
Ini sudah lebih dari 2 jam, tapi kenapa dokter belum keluar-keluar juga? Pertanyaan itulah yang terus berputar di pikiran Ali saat ini.
“Ali, duduk dulu nak jangan mondar-mandir disitu nanti pusing kamu!” ingat Asrya yang merasa pusing sendiri ketika melihat putranya itu. Anak keduanya yang bernama Alisyah berada di rumah, katanya masih ada tugas dan akan menyusul nanti. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda kedatangan putrinya itu.
Ali berhenti lalu menatap wajah uminya.
“Ali diem aja udah pusing umi, Ali cuma nggak sabar ingin tahu keadaan Fatimah.” ungkap Ali yang sudah memijat keningnya yang terasa nyeri sekali. Mendengar itu Arsya hanya diam dan tidak lagi menanggapinya agar tidak berujung emosi.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya sebuah suara derekan pintu ruang inap Fatimah membuat semua orang lansung memfokuskan pandangannya terhadap dokter.
“Dokter bagaimana keadaan tunangan saya? Apa dia baik-baik saja? Atau...” ucap Ali yang langsung nyerocos tetapi dihentikan oleh ucapan Dokter.
Dokter itu tersenyum melihat tingkah Ali yang begitu khawatirnya terhadap pasien yang baru ia cek itu. Lalu dia memegang pundak Ali dengan senyum yang masih mengembang.
“Syukurlah Fatimah sudah siuman, kenapa tadi bisa lama? Ya karena Fatimah masih perlu perawatan dulu, sekarang kamu bisa temuin dia tapi dengan satu persatu saja.” jelas dokter itu lalu melepas pegangan tangannya di pundak Ali.
Dokter itu menoleh menatap semua keluarga pasiennya.
“Saya harap kalian bisa jaga Fatimah lebih baik lagi ya, untung sesak nafasnya sudah membaik dan saraf otaknya juga sudah baik-baik saja. Kalau begitu saya permisi dulu pak, bu.” ucap dokter tersebut dan berlalu pergi diikuti oleh beberapa suster.
“Terimakasih dokter.” batin Khadijah yang sudah mulai merasa tenang mendengar kabar baik dari putrinya itu.
***
Perlahan Ali mendekat kearah brankar yang kini ditiduri oleh Fatimah. Tanpa disadari Fatimah juga sedang memerhatikannya dengan wajah tersenyum.
“Ali!” panggil Fatimah membuat tubuh Ali meremang. Setelah Fatimah mengucapkan itu, Ali lansung cepat memeluk tubuh Fatimah dan itu menbuat Fatimah sedikit terkejut dengan apa yang diterimanya.
“Sorry Fa, izinin gue meluk lo sebentar doang, gue kangen banget sama lo.” pinta Ali dengan keadaan masih memeluk tubuh Fatimah.
Fatimah tersenyum lalu membalas pelukan tersebut.
“Aku juga kangen loh sama kamu, tapi tumben ngomongnya pake lo-gue?” tanya Fatimah di dekat telinga Ali. Mendengar itu Ali melepas pelukannya dan menatap wajah Fatimah dengan cengar-cengir.
“Gue... Eh a.. aku dapet contoh dari Alfin, sahabat kamu.” ungkap Ali dan itu membuat Alfin menggerutu dibalik pintu ruang inap tersebut. Oh iya Alfin melupakan bahwa Ali itu jujurnya kebangetan banget.
“Anjir tuh anak, gue lupa kalo dia nggak suka bohong.” batin Alfin seraya memerhatikan Fatimah dan Ali yang sedang asyik mengobrol.
---
“Loh kamu udah kenal Alfin? Sejak kapan?” tanya Fatimah merasa penasaran. Pasalnya dia belum menceritakan tentang sahabatnya itu.
“Oh itu Alfin yang bantu aku buat nemuin pelaku dibalik kejadian ini.” jawab Ali masih tersenyum. Tidak dapat dibayangkan sebahagia apa Ali melihat, mendengar, dan mengobrol hangat seperti semula lagi.
“Terus udah ketemu pelakunya?” tanya Fatimah seketika membuat Ali bungkam. Bukan apa-apa jika menceritakan semuanya kepada Fatimah, tetapi Ali tidak ingin Fatimah merasa terluka lagi jika mengetahui bahwa pelakunya adalah...... Sahabatnya sendiri dan juga seniornya yang sempat dia katakan baik sebelumnya.
Fatimah bingung melihat Ali diam saja.
“Woy Ali! Yaelah kenapa bengong sih hehe?” ucap Fatimah lansung menyadarkan lamunan yang Ali lakukan.
“Ah.. Ngg.. Nggak papa kok, pelakunya udah ketemu kok. Kapan-kapan kita kesana yah, sekarang kamu istirahat dulu supaya cepat pulang.” ucap Ali tidak membuat Fatimah berpikir macam-macam karena melihat tingkah Ali yang seakan-akan menutupi sesuatu, dia malah tersenyum lalu mengangguk semangat.
“I miss you Al!” ucap Fatimah lansung menutup wajahnya dengan selimut berharap wajahnya yang kini seperti kepiting rebus tidak terlihat oleh Ali.
Mendengar itu Ali tersenyum malu.
“I miss you too Fa.” balas Ali mengelus-ngelus kepala Fatimah yang tertutupi selimut itu, lalu dia keluar ruangan agar calon mertuanya juga dapat melihat putrinya sendiri.
***
Kini keluarganya sedang berada di dalam ruangan dan hanya ada Ali serta Alfin yang sedang duduk-duduk di depan ruangan tersebut.
Ali menatap wajah Alfin yang sepertinya menunjukkan wajah kesalnya kepada dirinya.
“Lo kenapa mukanya kayak gitu? Punya dendam lo sama gue?” tanya Ali tanpa merasa sadar sedikitpun terhadap apa yang telah dia lakukan.
“Banyak! Bahkan nggak keitung dendam gue ke lo.” balas Alfin dengan nada kesalnya.
Ali yang mendengarnya lansung membalikkan badannya dan kini sudah berhadap-hadapan dengn Alfin.
“Emang gue punya salah apa sih ke lo? Perasaan nggak lama deh kita kenalnya sampe punya dendam masing-masing.” tanya Ali dengan wajah kebingungannya. Memang benar apa yang dikatakan Ali, mereka tidak kenal lama dan kenalannya pun tidak seperti biasanya. Hanya karena kejadian yang menimpa Fatimah yang membuat mereka saling kenal dan berkerjasama waktu itu.
“Kesalahan lo banyak, lo udah ngerebut sahabat gue. Kedua, dan lo juga sudah jadi tunangannya dan membuat gue jauh dari Fatimah. Dan sekarang lo dengan polosnya mengatakan bahwa gue yang ngajarin lo soal ngomong lo-gue itu? Dan parahnya lo nggak sadar kesalahan yang lo perbuat itu?” jelas Alfin tanpa jeda nafas sebentar pun. Ali berpikir jika Alfin ikut tes pramugari bisa saja lulus dan sukses.
Ali memang kebangetan, orang lagi nyerocos ngejelasin kesalahannya malah kepikiran tes tesan pramugari. Jika Alfin mengetahuinya mungkin Ali sudah babak belur di hadapannya dan itu hanyalah halusinasi karena Ali lah yang pintar bela diri bukan Alfin sendiri.
“Lo ngederin gue nggak sih?” tanya Alfin yang memukul kepala Ali dan membuatnya menerima pukulan balik dari Ali. Katakan saja senjata makan tuan.
“Anjir kenapa dipukul balik sih?” tanya Alfin seraya memegang kepalanya yang menerima pukulan jauh lebih sakit daripada pukulannya sendiri.
“Lo tuh sok sok an mukulin kepala gue, ortu gue aja belum mukul gue sama sekali.” ungkap Ali dan hanya mendapat balasan cibiran dari Alfin.
Keduanya yang asyik berdebat antar satu sama lain dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang membuat mereka lansung menatapnya dengan wajah kebencian.
“Kenapa dia kesini sih njir?” batin keduanya yang tanpa disadari satu sepemikiran.
“BERSAMA MENUJU CINTANYA”
••••••#Next chapter?
#Jangan lupa voment-nya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Menuju Cintanya ( Completed )
Teen Fiction( Disarankan follow sebelum membaca ) Bagaimana rasanya menyukai seseorang dalam diam? Menyenangkan tetapi harus selalu sabar dalam menghadapi kenyataan bahwa orang yang disukainya ternyata telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Namun tiba-tiba...